Sembari Dinas

Mengabdi untuk Negeri dalam Bingkai Kebangkitan Nasional

Sekolah Kedokteran Bumiputra atau School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran pada 1 Maret 1902. Sekolah yang kemudian dikenal sebagai STOVIA tersebut sangat menjunjung tinggi kedisiplinan dan tanggung jawab. Kelak STOVIA tidak hanya membidani kelahiran dokter-dokter yang berjasa dalam memberantas penyakit menular dan menyelematkan banyak nyawa rakyat pribumi, melainkan pula mengilhami munculnya era baru perkembangan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan melalui Boedi Oetomo. Kini, 120 tahun pasca STOVIA menyelenggarakan pembelajaran untuk kali pertama, semangat pengabdian yang dimiliki oleh dokter-dokter lulusan STOVIA dan tokoh-tokoh pergerakan nasional terus dilanjutkan oleh Abdimuda Indonesia dalam semangat “Mengabdi untuk Negeri”.

Kala itu wabah penyakit menular tengah melanda Hindia Belanda, tak terkecuali Batavia (Jakarta). Rencana peresmian STOVIA sebagai tempat belajar mengajar calon dokter bumiputra pun sempat tertunda. Namun demikian, adanya wabah penyakit malaria, kolera, dan sebagainya tidak menjadi halangan bagi kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut justru menjadi pemantik semangat untuk membebaskan masyarakat Hindia Belanda dari penyakit menular. Semangat tersebut kian hari justru semakin meningkat bukan hanya untuk membebaskan masyarakat dari penyakit, melainkan mengangkat harkat dan martabat penduduk pribumi untuk merdeka dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pada tahun 1907, Dokter Wahidin Soedirohoesodo mengadakan ceramah tentang Studie Founds (beasiswa) dihadapan pelajar STOVIA yang menjadi pemicu bagi tumbuhnya semangat nasionalisme hingga pada 20 Mei 1908 pelajar STOVIA mendeklarasikan berdirinya organisasi modern pertama Boedi Oetomo dengan Dokter Soetomo dan Dokter Wahidin sebagai pelopor. Tak hanya sampai di situ, Tri Koro Dharmo pun berdiri sebagai organisasi kepemudaan pada 7 Maret 1915. Semangat untuk merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan seakan menjadi “virus” yang menular di setiap jiwa raga pemuda kala itu hingga bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Jasa besar STOVIA dalam proses pergerakan nasional dan proses pembangunan bangsa serta negara membuat STOVIA menjadi Museum Kebangkitan Nasional sejak 7 Februari 1984. Melalui Museum, diharapkan memori mengenai peristiwa kebangkitan nasional yang dipelopori oleh pemuda dapat dilindungi, dimanfaatkan, dikembangkan, serta dikomunikasikan kepada masyarakat, terutama generasi penerus melalui fungsi pengkajian, pendidikan, dan hiburan. Museum sendiri telah memiliki aturan khusus yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum. Kini, Museum berupaya dikembangkan melalui peningkatan akses informasi, pemanfaatan Museum sebagai sarana kebudayaan, dan optimalisasi Museum sebagai bagian dari pemajuan kebudayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui pengembangan tersebut, diharapkan Museum dapat menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya kemampuan berpikir serta kreatifitas masyarakat.

Kreatifitas, semangat mengabdi, dan kerangka berpikir mengenai kebangsaan yang terdapat di Museum Kebangkitan Nasional mengilhami Abdimuda Indonesia untuk mengadakan kegiatan ASN Fest 2022. Inklusifitas, kebermanfaatan, dan kontribusi yang selama ini menjadi isu yang diusung oleh Abdimuda Indonesia turut diimplementasikan dalam ASN Fest 2022. Untuk itu, Museum Kebangkitan Nasional dipilih sebagai lokasi Inaugurasi. Momentum kegiatan pasca Pandemi Covid-19, kesadaran akan hak disabilitas, dan konektivitas antar sesama pemuda dari Kementerian, Lembaga, BUMN, Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Umum sangat relevan dengan momentum kebangkitan nasional yang dahulu diusung oleh para dokter lulusan STOVIA pasca mewabahnya penyakit menular dan meluasnya pengaruh kolonial.

Kini, zaman telah berganti. STOVIA telah tiada, berganti menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Namun relevansi masa lalu dengan masa kini dan semangat Mengabdi untuk Negeri seyogyanya tetap terawat. Jika dahulu para dokter lulusan STOVIA berupaya membebaskan masyarakat dari penyakit menular dan memerdekakan masyarakat dari belenggu penjajah, kini Abdimuda Indonesia berupaya untuk berkolaborasi serta menebar manfaat tanpa henti.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Menguak Serambi Edukasi pada Peninggalan Arkeologis Muarajambi

Muarajambi merupakan satu dari tujuh Kawasan Strategis Nasional Lingkup Sosial Budaya. Pada kawasan tersebut, terselip khazanah kebudayaan dan edukasi pada masa lampau. Khazanah tersebut menjadi muara bagi peradaban di tepi Sungai Batanghari sejak abad VII hingga kini.

Pemajuan dan pelestarian kebudayaan merupakan upaya untuk meningkatkan peran kebudayaan dalam pembangunan. Upaya tersebut diharapkan mampu menjadikan masyarakat lebih beradab, maju, mandiri, dan sejahtera berdasarkan prinsip kebhinnekaan, toleransi, serta gotong-royong. Untuk itu, pembangunan kebudayaan menggunakan empat langkah strategis yang ditempuh melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Melalui keempat langkah tersebut, keragaman budaya Indonesia dihargai dan diakui dengan menempatkan masyarakat sebagai pemilik sekaligus penggerak kebudayaan serta menempatkan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memajukan kebudayaan adalah menjadikan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Di Indonesia terdapat 76 KSN yang terdiri dari 27 KSN Ekonomi, 25 KSN Lingkungan Hidup, 7 KSN Sosial Budaya, 8 KSN Teknologi Tinggi, dan 9 KSN Pertahanan dan Keamanan. Saat ini terdapat 18 KSN yang telah dilakukan penyusunan Rencana Tata Ruangnya. Pedoman dalam penyusunan RTR KSN terdiri dari Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang KSN; Rencana Struktur Ruang KSN; Rencana Pola Ruang KSN; Arahan Pemanfaatan Ruang KSN; Arahan Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang KSN; serta Pengelolaan dan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang KSN.

Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan salah satu KSN yang ditetapkan dalam PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dari sudut kepentingan sosial budaya. Kawasan Cagar Budaya Muarajambi telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud Nomor 259/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional tanggal 30 Desember 2013 dan sedang dalam proses penetapan menjadi warisan budaya dunia UNESCO yang telah terdaftar dalam Tentatif List UNESCO nomor 5465 tanggal 6 Oktober 2009.

Berdasarkan hasil penetapan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sebagai Cagar Budaya Nasional, luas kawasan meliputi 3,981 ha yang terdiri dari Zona Inti 1 seluas 90,78 hektar; Zona Inti 2 seluas 363,31 hektar; Zona Penyangga seluas 2067,58 hektar; Zona Pengembangan seluas 1166,39 hektar; Zona Penunjang seluas 292,96 hektar. Selain itu, disepakati pula delineasi Kawasan dengan luas 21.288 Hektar yang mencakup 17 (tujuh belas) desa di Kecamatan Maro Sebo dan Kecamatan Taman Rajo.

Beberapa isu dalam pembangunan berkelanjutan di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi meliputi alih fungsi lahan, penurunan kualitas lingkungan hidup, kebencanaan, transportasi, ekonomi sektor perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta tata kelola. Berdasarkan analisis Kebijakan, Rencana, dan Program, terdapat sebaran jaringan yang terdampak dengan adanya RTR KSN, yaitu jaringan transportasi, jaringan limbah dan persampahan, jaringan energi/kelistrikan, serta kawasan daya lingkungan rendah. Pada jaringan limbah dan persampahan yang akan tercantum dalam KLHS, direkomendasikan untuk merelokasi kegiatan industri di sepanjang Sungai Batanghari guna mengurangi dampak pencemaran air, tanah, serta udara yang berpotensi mengancam keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dan kesehatan masyarakat sekitar.

Kawasan Cagar Budaya Muarajambi memiliki arti penting dan strategis di Indonesia. Khazanah kebudayaannya merupakan peninggalan Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya yang menjadi pusat peribadatan agama Budha terluas di Indonesia pada abad VII-XIII. Dalam sejarah regional, kerajaan Malayu dan Sriwijaya diakui sebagai kerajaan yang berpengaruh sangat luas, tidak hanya di Nusantara tetapi juga di daratan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya berperan penting dalam percaturan politik-ekonomi internasional yaitu sebagai penghubung antara India dan Cina pada masa itu. Muarajambi pernah menjadi pusat pendidikan Budisme abad V-VI.

Mengingat penting dan strategisnya Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dalam peradaban Indonesia, Pemerintah berupaya menguak peninggalan arkeologis Muarajambi dengan melibatkan unsur pentahelix, baik masyarakat, media, maupun akademisi. Ekspedisi Sungai Batanghari dan Kenduri Swarna Bhumi merupakan beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menggali potensi dan permasalahan di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, terutama di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Melalui upaya tersebut, diharapkan kebudayaan semakin menguat dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional yang berdampak pada masyarakat. Sejatinya, Muarajambi bukan hanya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan, melainkan sebagai muara bagi peradaban yang akan terus berkembang, kini dan nanti.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Menyelami Pemikiran dan Perjuangan Tjokroaminoto

Gagasan dalam pemikiran Tjokroaminoto mengenai kebangsaan dan kebudayaan melampaui perkembangan zaman sehingga diperlukan upaya untuk merawat ide dan gagasan tersebut melalui Pusat Kajian Kebudayaan di Yogyakarta yang disinergikan dengan keberadaan Museum Tjokroaminoto di Surabaya. Sinergi tersebut diharapkan mampu merawat pemikiran dan perjuangan sekaligus peninggalan Tjokroaminoto sebagai Guru dari para Bapak Bangsa.

Bulan Agustus tidak hanya menjadi bulan kelahiran Bangsa Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan, melainkan menjadi bulan kelahiran salah satu Guru Bangsa dan Raja tanpa Mahkota, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto yang dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1883. Beliau menjadi seorang Pahlawan Nasional sekaligus menjadi salah satu pelopor pergerakan dan guru para pemimpin besar di Indonesia. Berbagai macam ideologi bangsa Indonesia kala itu lahir dari gagasan pemikiran beliau. Kediamannya di daerah Peneleh, Surabaya merupakan saksi rekam jejak, kisah dan sejarah perjuangan bangsa dimulai. Kediaman beliau yang dahulu menjadi tempat tinggal Soekarno, Alimin, Darsono, Kartosuwiryo, Agus Salim, dan tokoh muda pergerakan nasional lainnya seakan menjadi laboratorium tempat berbagai pemikiran “dibedah” hingga berkembang menjadi paham kebangsaan. Tempat bersejarah ini kemudian diresmikan sebagai Museum HOS Tjokroaminoto pada 27 November 2017 oleh Pemerintah Kota Surabaya. Namun demikian, tulisan dan karya yang memuat ide serta gagasannya belum terinventarisir dengan baik.

Nilai-nilai kehidupan yang saat ini dikenal sebagai bagian dari nilai-nilai Revolusi Mental, seperti Etos Kerja, Gotong-Royong, dan Integritas sangat dipegang teguh oleh Tjokroaminoto dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang kepala keluarga, pemimpin organisasi Sarekat Islam yang terbesar di Hindia Belanda kala itu, dan guru bagi para pemuda revolusioner, Tjokroaminoto senantiasa memberikan contoh untuk memiliki etos kerja yang tinggi, selalu melakukan gotong royong untuk melakukan berbagai hal, dan menjunjung tinggi integritas. Hasilnya, organisasi yang beliau pimpin menjadi organisasi terbesar dan berhasil menyiapkan calon pemimpin masa depan. Tak heran bila beliau mendapat julukan Raja Jawa tanpa Mahkota dari Pemerintah Hindia Belanda dan Guru Bangsa dari handai taulan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Kini, bangunan fisik peninggalan Sang Guru Bangsa telah menjadi Museum di Surabaya. Namun, ide dan gagasan mengenai paham kebangsaan dari Sang Raja tanpa Mahkota perlu dirawat dan dilestarikan. Empat langkah strategis kebudayaan yang terdiri dari pelindungan, pengebangan, pemanfaatan, dan pembinaan menjadi solusi dalam upaya merawat dan melestarikan pemikiran beliau. Salah implementasi yang akan dilakukan dengan mengacu pada langkah strategis tersebut adalah membentuk Pusat Kajian Kebudayaan di sebuah kampus yang menyandang nama beliau, yaitu Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.

Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) merupakan salah satu perguruan tinggi yang turut menyandang nama pahlawan nasional HOS Tjokroaminoto, dengan nilai-nilai perjuangan Sarikat Islam menjadi inspirasi dalam kegiatan pengajaran. Kehidupan personal hingga totalitas Tjokroaminoto di kancah organisasi sejak tahun 1912 telah menjadi peta awal penuntun Indonesia sebagai negara berdaulat di tahun 1945. Beranjak dari hal tersebut UCY pada tahun 2019 melakukan Diskusi Publik bertajuk Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto yang melibatkan mahasiswa dengan tujuan agar mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa mengetahui sejarah pemikiran beliau dan tergerak melakukan perubahan melalui gagasan dari pemikiran Sang Guru Bangsa.

Gagasan kebangsaan dan nilai-nilai kehidupan yang telah ditanamkan oleh Tjokroaminoto perlu dirawat melalui pembentukan Pusat Kajian Kebudayaan yang di dalamnya secara khusus membedah pemikiran Tjokroaminoto sehingga mampu “menyiapkan jalan” sekaligus mendidik pemimpin masa depan. Saat ini di UCY terdapat Cokroaminoto Corner yang telah mendapatkan akreditasi dari Perpustakaan Nasional. Keberadaan Cokroaminoto Corner ini perlu dikembangkan menjadi Pusat Kajian Kebudayaan sehingga upaya pemajuan kebudayaan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan pemikiran Sang Guru Bangsa dapat diimplementasikan. Dengan demikian, fisik Museum Tjokroaminoto di Surabaya tetap terawat dan pemikiran kebangsaan Tjokroaminoto melalui Pusat Kajian Kebudayaan di Yogyakarta tetap berkembang. Mengutip perkataan Tjokroaminoto, sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasah.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Melestarikan Borobudur

Rencana Pembatasan Jumlah Pengunjung akan tetap mengedepankan aspek keamanan, kenyamanan, aktivitas keagamaan, edukasi, konservasi, dan pelibatan masyarakat. Upaya tersebut merupakan salah satu langkah untuk melestarikan Candi Borobudur sekaligus mendorong kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar Kawasan Borobudur.

Candi Borobudur merupakan cagar budaya Indonesia yang telah ditetapkan sebagai situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESO pada tahun 1991. Dalam penetapan Candi Borobudur menjadi Warisan Dunia, Candi Pawon dan Candi Mendut juga termasuk dalam penetapan karena dianggap memenuhi kriteria Nilai Universal Luar Biasa. Dibangun pada abad ke-8 dan 9 oleh Dinasti Syailendra, kompleks percandian ini merepresentasikan kemegahan tinggalan dinasti tersebut yang berkuasa di Jawa sampai dengan abad ke-10. Candi Borobudur juga menjadi salah satu monumen Buddha terbesar yang ada di dunia. Secara keseluruhan, Candi Borobudur memiliki 1.460 panel relief dan 504 stupa.

Dalam rangka melestarikan Candi Borobudur, Pemerintah Indonesia juga menetapkan kawasan tersebut sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) dengan tetap mengedepankan prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan upaya memadukan atraksi dengan destinasi. Selain itu, pelestarian Kawasan Borobudur juga menggunakan falsafah Memayu Hayuning Bawono sebagai landasan guna mengimplementasikan ilmu lingkungan hidup untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.

Dalam hal pariwisata, Indonesia mengalami peningkatan pembangunan pariwisata sebesar 3,4% dan perbaikan peringkat dari 42 menjadi 32 berdasarkan Travel and Tourism Development Index (TTDI) tahun 2021. Salah satu peningkatan signifikan terdapat pada pilar Sumber Daya Kebudayaan (Cultural Resources) yang menjelaskan peningkatan promosi, pelindungan, dan pengembangan kebudayaan. Peningkatan dan perbaikan dimaksud merupakan hasil dari kebijakan yang fokus pada pasar domestik melalui peningkatan kualitas infrastruktur pendukung dan pergeseran program dari pariwisata yang berkuantitas (quantity tourism) menjadi pariwisata yang berkualitas (quality tourism).

Sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia yang ada di Indonesia, Kawasan Borobudur berupaya menerapkan manajemen Warisan Budaya Indonesia yang menggunakan Prinsip Konservasi, Pendekatan Masyarakat dan Lingkungan, serta Investasi dan Keuntungan Ekonomi. Prinsip Konservasi dilakukan melalui Pembangunan Pusat Studi, Pelindungan Aset Warisan Budaya, Dukungan Pemeliharaan dan Manajemen Konservasi, dan Pembangunan Kampung Seni. Sementara Pendekatan Masyarakat dan Lingkungan dilakukan melalui Pemberdayaan UMKM, Pembangunan Penginapan, Pelatihan Pemandu Wisata, Penerapan Konsep Lingkungan Hijau, dan Penerapan Manajemen Pengolahan Sampah. Prinsip Konservasi dengan Pendekatan Masyarakat dan Lingkungan akan menghasilkan keuntungan ekonomi dan investasi melalui kegiatan pameran, pertemuan, dan pertunjukan berskala nasional maupun internasional.

Namun demikian, permasalahan utama pada pengembangan DPSP Borobudur adalah pembangunan kawasan Zona 2 sebagai Zona Penyangga (Zona Taman Arkeologi). Zona tersebut merupakan kawasan penting dengan luas 0,87 km² untuk melindungi properti warisan dunia, mempertahankan Nilai Universal Luar Biasa, dan memecah kepadatan pengunjung. Terkait dengan permasalahan tersebut, terdapat tiga isu yang harus diselesaikan, yaitu pengembalian fungsi Zona 2 sesuai dengan Integrated Tourism Master Plan (ITMP), penataan lahan parkir dan pedagang, serta pembatasan jumlah pengunjung.

Disamping penataan dan pembatasan pengunjung, terdapat pula isu mengenai pengelolaan penginapan (Homestay) dan Usaha Pariwisata lain di sekitar Borobudur. Peningkatan kualitas rumah melalui Homestay dan Usaha Pariwisata lain telah dilakukan dengan jumlah 362 Homestay dan 20 Usaha Pariwisata yang tersebar di 15 Desa dan 2 Kecamatan. Upaya tersebut beriringan dengan peningkatan kapasitas SDM yang mengelola Homestay, pembuatan aplikasi yang terintegrasi guna memudahkan pemasaran, dan pembentukan paguyuban pengelola Homestay.

Pada akhirnya, pengembangan pariwisata berkelanjutan perlu mempertimbangkan aspek pelestarian yang mencakup pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Keseimbangan antara pelestarian cagar budaya dan nilai universal luar biasa dengan pengembangan pariwisata Kawasan Borobudur akan menjaga keberlanjutan Warisan Budaya Dunia tersebut sekaligus menstimulus peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar Kawasan Borobudur.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Menyelami Masa Lalu Kerajaan Gowa

Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan Balla Lompoa berbentuk rumah khas Bugis, yaitu rumah panggung dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras.

Dalam kronologi sejarah Makassar yang erat kaitannya dengan peristiwa heroik melawan Kolonialisme, terdapat banyak peninggalan bersejarah yang hingga kini menjadi penanda kekuatan masa lalu. Sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara ketika masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Makassar menyimpan banyak peninggalan yang menjelaskan kemajuan kebudayaan masyarakat Bugis dengan persilangan kebudayaan Islam dan pengaruh kolonial yang membingkai peradabannya.

Salah satu peninggalan yang termahsyur di kalangan masyarakat Makassar, terutama masyarakat Kabupaten Gowa adalah Museum Balla Lompoa. Lokasinya tepat di tengah Kabupaten Gowa yang tak jauh dari Kota Makassar. Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936. Bayangkan, pada masa Kerajaan Gowa tengah mengalami kemunduran pasca menguatnya cengkraman Pemerintah Hindia Belanda, terutama sejak Sultan Hasanuddin berhasil ditaklukan oleh siasat VOC, petinggi kerajaan tetap mampu menghasilkan produk budaya dengan karakteristik dan otentisitas yang tinggi.

Memasuki Museum Balla Lompoa, kita disuguhkan tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Pemandangan di dalam Museum membuat kita kembali lagi ke masa kejayaan Kerajaan Gowa puluhan tahun yang lalu. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di Museum ini, terdapat sebuah singgasana yang diletakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang terpajang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan). Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980 dan diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Subadio yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan.

Dalam rangka memajukan kebudayaan terutama Museum, Pemerintah beberapa agenda strategis kebudayaan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, Resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum, dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022. Pada RKP Tahun 2022, secara spesifik disebutkan mengenai isu strategis kebudayaan yang berkaitan dengan pelindungan cagar budaya dan warisan budaya tak benda sebagai khazanah budaya bangsa. Selain itu, arah kebijakan pemajuan dan pelestarian kebudayaan pada tahun 2022 mencakup pula mengenai revitalisasi museum, taman budaya, sanggar, dan kelompok seni budaya sebagai pusat pengembangan talenta seni budaya, termasuk pemanfaatan gedung pemerintah yang tidak terpakai untuk kegiatan seni budaya.

Memasuki masa Pandemi Covid-19, Museum sebagai salah satu pusat pengembangan kebudayaan mengalami penurunan kegiatan dan aktivitas. Oleh sebab itu, revitalisasi, pengembangan, dan pemanfaatan Museum pada masa adaptasi kenormalan baru pasca Pandemi Covid-19 sangat diperlukan. Revitalisasi Kawasan Museum Balla Lompoa pun dilakukan untuk menjaga eksistensi budaya peninggalan Kerajaan Gowa, seperti rumah panggung khas masyarakat Bugis, alat perang, dan payung lalong sipue yang digunakan saat pelantikan raja, mempertahankan adat istiadat, serta memperindah kawasan museum sebagai salah satu ikon Kabupaten Gowa.

Untuk tetap menjaga eksistensi Museum Balla Lompoa, Dana Alokasi Khusus (DAK) dianggarkan guna memelihara sarana dan prasarana, mengembangkan program publik, dan memelihara koleksi. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Gowa pada tahun 2022 mengusulkan Museum Balla Lompoa menjadi Cagar Budaya tingkat Kabupaten. Keseluruhan upaya tersebut dilakukan dalam rangka merawat masa lalu Kerajaan Gowa yang penuh dengan peristiwa heroik dan kaya akan nilai dan norma. Menyelami masa lalu Kerajaan Gowa melalui Museum Balla Lompoa membawa kita pada pesan mengenai kemajuan peradaban dan keteraturan sistem masyarakat yang melahirkan kemajuan kebudayaan.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Kepada Kartini

Seperti kutipan dari Pramodya Ananta Toer, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Namun, jauh sebelum tulisan-tulisan Pram menggetarkan dunia, seorang perempuan muda yang lahir di Jepara, telah mengabadikan kegelisahannya melalui goresan pena yang akan menjadi tonggak lahirnya kesetaraan kaum pribumi.

Kartini, seorang putri dari golongan priyayi yang dididik dan dibesarkan dengan peraturan agama dan adat yang ketat. Namun jika dibandingkan dengan perempuan lain pada masa itu, ia sangat beruntung karena dapat mengenyam pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) dimana ia mulai membentuk konstruksi berpikir kritis ala Eropa yang pada saat itu menjadi kiblat ilmu pengetahuan di penjuru semesta.

Sayangnya, perempuan muda itu harus tunduk pada kurungan adat bernama tradisi pingitan sejak usia 12 tahun, persis seperti yang diceritakan oleh bapak/ibu guru di bangku sekolah bahwa perempuan pada zaman itu harus menikah pada usia belia untuk menjalankan misi reproduksi serta menjalankan tugas domestik sebagai kanca wingking. Kanca wingking (teman di belakang), itulah istilah yang disematkan pada perempuan di era Kartini. Mengapa kanca wingking? Karena urusan perempuan di zaman itu hanya seputar sumur, dapur, dan kasur (yang letaknya di belakang). Oleh karena itu, perempuan yang keluar rumah untuk berkarir atau mengenyam pendidikan tinggi dianggap melanggar norma sosial sebab dianggap tidak lazim. Kepatuhan perempuan juga tercermin dalam ungkapan suarga nunut, neraka katut yang berarti entah di surga ataupun neraka, perempuan akan selalu ikut.

Tentu saja perempuan muda yang mendapatkan pendidikan ala barat, konsep emansifatie. menjadi dasar pemikirannya untuk menjadi pribadi yang merdeka. Saat ini popularitas Kartini direfleksikan dalam bentuk perayaan setiap tanggal 21 April dimana anak-anak mengenakan berbagai macam kostum, mulai dari pakaian adat hingga profesi tertentu. Tentu saja hal ini perlu diapresiasi sebagai momen untuk mengenang perjuangan seorang perempuan pro kesetaraan gender di era kolonialisme. Namun, sudahkah Anda mewariskan nilai-nilai perjuangan Kartini yang sebenarnya? Sudahkah Anda memahami kritik sosial yang disematkan Kartini dalam tulisan-tulisannya? Karena akhir-akhir ini, banyak yang meragukan perjuangan Kartini sebagai pahlawan emansipasi, bahkan ada yang membuat komparasi antara Kartini dan tokoh pejuang perempuan lainnya.

Mengapa Kartini begitu istimewa?

Di mata penulis, Kartini adalah seorang pemikir yang kritis. Gagasan-gagasan radikalnya tentang isu sosial sungguh telah melampaui pemikiran orang-orang pada zamannya, sehingga dengan berani ia menulis dan berdiskusi dalam bentuk korespondensi. Kepada Nona Estella Zeehandelaar, Kartini mendeskripsikan bagaimana gadis-gadis Jawa terbelenggu oleh adat-istiadat yang mengharuskan mereka untuk tunduk kepada abang, saudara laki-laki, dan ayah serta bagaimana perempuan Jawa dikondisikan untuk tidak boleh berkehendak selain untuk menikah dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Kartini menuliskan keresahannya agar dapat mengubah budaya patriarki garis keras menjadi relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki

Diceritakannya pula kepada Nona Estella Zeehandelaar tentang kerisauan terhadap kondisi sosial masyarakat Jawa pada masa itu yang dimabuk opium (candu) yang menurutnya lebih jahat daripada mabuk alkohol karena candu adalah akar dari sekian banyak tindak kriminal kala itu. Selanjutnya ia mencurahkan kekhawatirannya pada pendidikan kaum pribumi, terutama kaum perempuan. Tidak banyak perempuan yang bisa membaca dan menulis, bahkan Sebagian kecil perempuan berpendidikan sepertinya yang mampu berbahasa Belanda, dianggap telah melampaui batas. Pada saat itu Kartini percaya bahwa mempelajari berbagai bahasa (seperti Bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman) merupakan kunci untuk menguasai ilmu pengetahuan. Sayangnya, Kartini tidak bisa mengakses pelajaran multi-bahasa ini, karena ia dikurung oleh adat yang membelenggunya pasca lulus dari ELS. Walaupun keinginannya begitu menggebu untuk melanjutkan pendidikan menengah ke HBS (Hoogere Burgerschool), lagi-lagi ia harus mengurungkan niat tersebut karena ditentang oleh ayahnya, sebab tidak lazim bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi kala itu. Namun Kartini adalah Kartini, ia tak gentar dalam melaksanakan misi belajarnya dengan terus membaca buku-buku yang dibawa oleh kakaknya (R.M Sosrokartono) yang bersekolah di HBS.

Kepada Nona Estella Zeehandelaar pula ia menyampaikan pemikiran kritis terhadap agama yang dianutnya. Menurut Kartini, agama seharusnya menjadi rahmat untuk segala makhluk yang ada di dunia, namun yang ia lihat pada saat itu adalah manusia-manusia yang mengaku beragama tetapi menyakiti sesamanya. Menurut Kartini, berhati dan berperilaku baik adalah cerminan umat beragama yang paling esensial. Ia menyayangkan bagaimana pernikahan digunakan sebagai alat untuk menindas perempuan. Selanjutnya, ia melihat bagaimana perempuan harus bersaing satu sama lain ketika seorang suami membawa perempuan lain ke rumah. Sekalipun dalam agamanya memperbolehkan beristri lebih dari seorang, namun menurut Kartini, hal tersebut akan menyakiti istri yang lain. Bukan hanya relasi pernikahan yang dikritisi oleh Kartini, namun juga perkara kitab suci. Pada saat itu, kitab sucinya tidak diperkenankan untuk diterjemahkan dalam Bahasa Melayu. Kartini percaya bahwa untuk mengenal dan mengamalkan ajaran agama, seseorang harus memahami isi kitabnya terlebih dahulu, bukan hanya membaca dan menghafalkannya. Jika kitab saja tidak dapat dipahami maknanya, maka akan terjadi mispersepsi, seperti yang terjadi pada lingkungan sosialnya pada saat ini.

“Sekalipun tiada menjadi orang saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati bukan, Stella? Dan ‘hati baik’ itulah yang utama. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!” Ucap Kartini di penghujung suratnya.

Walaupun Kartini begitu memuja Eropa sebagai pusat peradaban dunia, ia juga menyampaikan kritiknya terhadap sikap orang-orang Eropa terhadap kaumnya. Ia menyayangkan sikap kaum kulit putih yang ingin disanjung dan gila penghormatan, seperti Raja-Raja Jawa yang harus dipuja oleh golongan yang dianggap lebih rendah. Kartini dengan berani menuliskan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh bangsa Eropa yang adigung adiguna, sebenarnya sama saja dengan kaum feodal Jawa yang haus penghormatan. Selain itu, Kartini juga mempertanyakan sikap bangsawan Eropa yang mencemooh kebodohan kaum bumiputera, namun sifat mereka berubah mengancam jika para bumiputera terlihat memajukan diri.

“Dan apabila perjuangan orang laki-laki sudah sengit, maka akan bangkitlah pihak perempuan. Berbahagialah kami, beruntung hidup di masa ini! Masa perubahan, masa kuno berdalih menjadi masa baru!” Tulis Kartini di paragraf ke-sekian.

Disini sangat terlihat bahwa Kartini adalah perintis kaum pemuja kesetaraan pada eranya, mengingatkan penulis pada tokoh fiktif bernama Minke. Pemuda berpendidikan yang tergila-gila pada kemajuan bangsa Eropa lalu mencaci adat-budaya kaumnya yang kolot, namun tak lama kemudian balik memaki Eropa yang tak beradab. Namun perbedaannya, Minke adalah laki-laki yang bisa mengakses pendidikan tinggi hingga ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) pasca kelulusannya dari HBS. Tulisan-tulisannya dimuat dalam surat kabar, keluh kesahnya dapat didengar oleh khalayak, dan lagi, ia memiliki mentor seorang perempuan cerdas dan berdaya bernama Nyai Ontosoroh. Sedangkan Kartini? Melanjutkan pendidikan tinggi pun dilarang, ia menulis dalam kecemasan dibalik tembok raksasa yang mengurungnya serta belenggu pingitan di kakinya. Mentornya adalah surat kabar langganan ayahnya serta buku-buku yang dibawa oleh kakaknya. Namun ia tidak berhenti untuk terus belajar dan mencurahkan cita-cita radikalnya pada secarik kertas yang dikirim pada beberapa sahabatnya, agar dunia tahu bahwa di salah satu bagian kecil dari sebuah negeri yang terjajah, ada seorang perempuan bernama Kartini yang terus melawan dengan sarkasme yang ia tuangkan dalam tulisan untuk melawan konstruksi sosial yang merantai kebebasannya.

Kartini mati muda, meninggalkan cita-citanya untuk bersekolah di Eropa. Ia mewariskan sekolah untuk kaum perempuan yang dirintisnya di pendopo kabupaten. Ia juga meninggalkan seorang bayi mungil yang belum sempat ia jejali dengan doktrin-doktrin perjuangan. Mungkin Kartini memang ditakdirkan untuk membuka jalan, sedangkan kita adalah lokomotif perjuangan kesetaraan yang ia usahakan sedari dulu. Kartini hanya ingin menjadi manusia bebas yang merdeka. Ia memang tidak berjuang dengan cara mengangkat senjata, namun gagasan tertulisnya merupakan pelopor perjuangan kaum pribumi untuk menjadi bangsa yang merdeka. Faktanya, pemikiran radikal seorang perempuan muda telah menandai fase awal pergerakan nasional yang sering luput dari perhatian kita bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak melulu soal senapan, bambu runcing, dan perang gerilya. Kartini juga dapat disebut sebagai konseptor sebuah perubahan, sekolah rintisannya turut menandai perkembangan politik etis di Hindia, bahwa kaum pribumi khususnya perempuan layak untuk mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki.

Padamu Kartini,

Engkau bara yang menyala di tengah gulita

Pembuka jalan pergerakan insan merdeka

Yang fana adalah waktu,

Namamu abadi

DAFTAR PUSTAKA

  1. Marihandono, Djoko dkk. (2016). Sisi Lain Kartini.  Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
  2. R.A Kartini. (Cet.27. 2009). Habis Gelap Terbitlah Terang. (Armijn Pane, Terjemahan). Jakarta: Balai Pustaka
Selengkapnya
Sembari Dinas

Menjalani Hidup sebagai Pengadil

Keadilan tidak bisa tegak dengan sendirinya namun harus ada manusia yang istiqamah untuk terus menegakkannya. Dalam menegakkan keadilan, hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia adalah ilmu.

Salah satu peristiwa penting dalam hidup saya yang terkadang saya bingung harus khawatir dan bangga adalah ketika saya diterima sebagai Hakim. Bingung karena berkarier sebagai hakim bukan impian saya sejak awal masuk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2011. Boleh dikatakan ini peristiwa yang kebetulan ketika saya diterima sebagai Hakim oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Di satu sisi saya merasa khawatir tidak dapat menjalankan amanah yang berat sebagai hakim namun di sisi yang lain mungkin ini jalan yang Allah tunjukan pada saya untuk mengabdi di negeri ini dan berkontribusi di masyarakat. Saya percaya bahwa Allah tidak pernah salah menempatkan seseorang untuk menjalankan amanah tertentu karena dalam perjalanannya banyak pelajaran yang saya ambil ketika menjalani profesi sebagai hakim. Jalan hidup ini mengajarkan saya bahwa keadilan tidak bisa tegak dengan sendirinya. Ia bisa tegak ketika ada manusia yang istiqamah (konsisten) untuk terus menegakkannya. Namun, dalam menegakkan keadilan manusia memiliki keterbatasan karena keadilan yang bisa ditegakkan oleh manusia bukanlah keadilan yang hakiki namun keadilan relatif yang bisa saja dinilai tidak adil oleh manusia lainnya. Keadilan yang hakiki adalah keadilan yang ada di langit yang hanya bisa diberikan oleh Allah karena Allah adalah sebenar-benarnya hakim di hari akhir nanti. Sebagaimana dalam firmanNya di dalam surat At-Tin ayat 8 yang artinya “Bukankah Allah hakim yang paling adil?”. Firman ini secara fundamental menegaskan bahwa tidak ada hakim yang paling adil selain Allah.

Ketika kita tahu bahwa kita tidak akan bisa mendapatkan keadilan yang hakiki lantas apakah kita harus berpasrah. Di titik ini saya menyadari bahwa tugas dari seorang hakim adalah berikhtiar untuk mendekatkan keadilan yang relatif ini dengan keadilan hakiki tujuannya agar masyarakat tidak pasrah dan tetap percaya bahwa keadilan yang diberikan adalah keadilan yang sebaik-baiknya yang bisa diupayakan oleh manusia. Saya menyadari hakim juga manusia tempatnya salah dan bias namun sebagai hakim saya juga menyadari ada tanggung jawab yang besar bagi seorang hakim untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, sebagai seorang hakim agar saya terus dapat memberikan keadilan yang terbaik bagi masyarakat maka yang harus saya lakukan adalah tetap belajar dan memperdalam ilmu. 

Bekerja adalah Belajar

Pengadilan Negeri Mandailing Natal adalah tempat pertama saya bekerja sekaligus belajar mengenal dunia peradilan secara lebih luas. Selama ini belajar mengenai peradilan hanya di bangku kuliah dan artikel-artikel yang menjelaskan bahwa dunia peradilan Indonesia sangat bobrok dan tidak bisa diharapkan. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa “jangan percaya sama orang di dua tempat ini yaitu di terminal dan pengadilan”. Adagium ini secara eksplisit mengatakan bahwa pengadilan adalah tempat ketidakjujuran dan kecurangan bukan tempat untuk mencari keadilan.

Bekerja di lembaga yang terbebani dengan adagium seperti ini membuat saya sulit bekerja dengan optimal. Apalagi, istri dan anak saya saat ini jauh berada di Sukabumi karena beberapa alasan tidak bisa menemani saya dinas dalam waktu dekat. Namun, segala kesulitan ini membuat saya berpikir lebih dalam “bukankan pelaut yang tangguh lahir dari laut yang berombak”. Kesulitan yang saya hadapi ini bukanlah tanpa maksud dari sang pencipta. Ini adalah arena untuk memperbaiki dan mengembangkan diri. Kesulitan ini melatih mental saya untuk tidak menjadi manusia dengan mental “kaleng-kaleng”. Hari demi hari saya lalui dengan berdoa agar Tuhan merahmati segala ketukan palu yang saya ayunkan untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. Kadang dilema datang untuk menghadirkan ragu namun doa adalah penguat bahwa semua akan baik-baik saja.

Sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa keadilan tidak bisa tegak dengan sendirinya namun harus ada manusia yang istiqamah untuk terus menegakkannya. Dalam menegakkan keadilan, hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia adalah ilmu. Ilmu laksana cahaya dalam gelap. Ia mencerahkan, memberikan petunjuk kepada manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Hakim dalam memberikan keadilan tidak bisa hanya mengandalkan intuisi semata namun dibutuhkan ilmu yang mendalam terhadap permasalahan tersebut. Putusan hakim yang tidak didasarkan pada ilmu hanya menghadirkan kesesatan dan tidak mungkin bisa mencapai keadilan. Putusan hakim merupakan gambaran pemikiran hakim tersebut terhadap permasalahan yang diajukan ke muka pengadilan. Oleh sebab itu, ilmu merupakan modal utama bagi seorang hakim untuk menyelesaikan permasalahan dan memberikan keadilan di masyarakat.

Sumber Gambar: republika.go.id

Penulis: Catur Alfath Satriya (Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal)

Selengkapnya
Sembari Dinas

Soal CPNS dan PPPK 2021 Gratis

Badan Kepegawaian Negara (BKN) sudah membuka portal resmi untuk simulasi ujian CPNS dan PPPK 2021 melalui metode Computer Assisted Test (CAT). Portal CAT BKN 2021 merupakan satu-satunya website resmi yang diluncurkan BKN untuk simulasi ujian CPNS dan PPPK 2021.

Tentunya dalam menghadapi ujian untuk menjadi seorang CPNS ataupun PPPK diperlukan persiapan yang matang baik dalam persiapan berkas maupun persiapan menghadapi soal-soal ujian.

Adapun Abdimuda Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi wadah kebermanfaatan ASN dari seluruh Indonesia, salah satunya dengan mengadakan program mentoring Calon CPNS gratis yang telah berlangsung selama dua tahun. Abdimuda melalui semangat cerdas dan kontributif juga membantu membagikan soal-soal latihan kepada masyarakat yang belum berkesempatan menjadi Mentee Abdimuda, berikut linknya

Soal CPNS dan PPPK 2021 Gratis bit.ly/soaltescpnsgratis

Share ke teman-teman jangan lupa!

Selengkapnya
Sembari Dinas

Pecinan Tak Lekang Termakan Zaman

Gemerlap Tahun Baru Imlek dirayakan oleh penduduk keturunan Tionghoa di seantero negeri, tak terkecuali di Jakarta. Imlek sejatinya merupakan tradisi umum untuk merayakan Tahun Baru yang tahun ini genap mencapai 2572. Dalam lintasan sejarah, tradisi ini selalu dirayakan oleh penduduk keturunan Tionghoa yang awal-mulanya menempati kawasan Pecinan, tak jauh dari pusat kota Batavia Lama.

Jakarta yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan Batavia merupakan salah satu kota pelabuhan. Di sini muncul wilayah-wilayah (perkampungan) baru yang dihuni oleh para pendatang, sehingga muncul perkampungan arab, perkampungan jawa, perkampunan cina, perkampungan ambon, perkampungan makasar, dan sebagainya. Sama seperti wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa, komunitas cina di Batavia tumbuh subur dan memiliki perkampungannya tersendiri yang sering kita kenal dengan sebutan pecinan. Pada tahun 1826 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang yang disebut sebagai wijkenstelsel. Undang-undang ini mengharuskan etnik-etnik yang ada di suatu daerah untuk tinggal di daerah yang telah ditentukan di dalam kota. Misalnya orang Cina harus tingal di Pecinan, maka yang tinggal di luar Pecinan harus pindah ke dalam wilayahnya sendiri yang telah ditentukan. Sehingga daerah-daerah etnik yang memang sudah ada di berbagai kota terutama di kota-kota pantai di Jawa lebih diperkuat lagi kehadirannya. Oleh sebab itu secara fisik kota–kota di Batavia kemudian dipisahkan secara jelas menjadi tiga wilayah besar. Pertama daerah orang Eropa (Europeesche Wijk), kedua daerah orang Cina (Chinezen Wijk) dan orang Timur asing lainnya (Vreemde Oosterlingen) serta yang ketiga adalah daerah tempat tinggal orang pribumi setempat. Undang-undang wilayah (Wijkenstelsel) ini pada hakekatnya malah memperkuat kehadiran daerah pecinan dalam tata ruang kota di Jawa. Wijkenstelsel ini secara resmi dihapuskan pada tahun 1920an.

Lingkungan Pecinan merupakan lingkungan yang paling urban di daerah perkotaan di Jawa. Asas-asas geometris tampak diterapkan dalam lingkungan Pecinan. Menurut Denys Lombard (1996) dalam karyanya Nusa Jawa Silang Budaya, wilayah Pecinan mirip dengan kota-kota di barat dan sangat kontras dengan tatanan wilayah tetangganya yang seringkali mirip dengan kampung. Pecinan banyak dianggap sebagai bagian dari Kota Tua, sementara kota Tua juga dianggap sebagai bagian Pecinan Jakarta. Namun, daerah ini sesungguhnya memiliki otoritas wilayah tersendiri. Pecinan yang terletak di wilayah di Jakarta yang banyak dikenal adalah wilayah Petak Sembilan, Pancoran Glodok, hingga wilayah  Beos. Batavia yang notabene adalah kota dekat pantai mengalami perkembangan sepanjang jaman. Mulai dari pendirian pos dagang sampai kota benteng dan akhirnya sebagai Kotamadya (Gemeente) dan ibukota propinsi. Berbagai grosir besar hingga pedagang eceran dapat ditemui di kawasan yang membentang hingga wilayah Pinangsia (dahulu Finacieren, pusat keuangan) di timur, Perniagaan, Pasar Pagi, Asemka, dan Bandengan (dahulu Bacheragracht) di utara. Dalam hal ini, wilayah Pecinan ini selalu mengambil peran sebagai wilayah perdagangan eceran dan sebagai pedagang perantara. Memang ada beberapa pedagang Cina yang menjadi pedagang besar dan meningkatkan perannya sebagai eksportir pada akhir abad 19 dan awal abad 20 tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang eceran dan perantara yang hidup di daerah pecinan. Dari hasil penelitian Widodo (1996: 201-207), terlihat bahwa daerah Pecinan dalam tata ruang kota-kota pantai sampai pada tahun 1940an masih mengambil peran yang cukup berarti.

Pecinan sebagai Salah satu Pusat Perekonomian Batavia

Pada zaman kolonial, kebanyakan orang Cina berperan sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Kedudukan ini menempatkan orang Cina sebagai pedagang perantara orang pribumi yang menghasilkan produk-produk pertanian kemudian menjualnya pada pedagang-pedagang besar Eropa. Di samping itu, orang Cina juga berperan sebagai distributor barang-barang eceran. Itulah sebabnya daerah pecinan sering terletak di antara daerah orang pribumi dan daerah orang Eropa (Europeesche Wijk ). Daerah pecinan biasanya juga harus dekat dengan pasar tradisional, karena pasar adalah tempat jual-beli dan pertukaran barang-barang eceran kebutuhan sehari-hari. Wilayah Pecinan yang terkenal di Batavia hingga saat ini berada di kawasan Glodok-Pancoran. Kawasan ini mampu berkembang menjadi pusat bisnis dan ekonomi di Batavia. Ada kisah menarik dari dibangunnya kawasan ini. Pada masa itu, Pemerintah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sengaja membangun hunian di Glodok-Pancoran yang berada di luar benteng Belanda, tetapi masih dalam jangkauan tembakan meriam mereka. Strategi itu diterapkan demi alasan keamanan para kolonis Belanda dan warga penghuni benteng pasca Perang China yang diawali dengan pembantaian 10.000 orang Tionghoa di dalam Benteng Batavia. Kawasan pecinan yang sejalan dengan pertumbuhan kegiatan perdagangan menyebabkan adanya ciri khas pada fisik bangunannya. Rumah Toko (ruko) merupakan bangunan khas Pecinan. Khol (1984) yang banyak mengunjungi kota-kota pelabuhan (kota bawah) di propinsi Guangdong dan Fujian serta daerah Pecinan di kota-kota pantai Asia Tenggara, mengatakan bahwa ruko merupakan “landmark” di kota-kota tersebut.

Salah satu ciri khas daerah Pecinan adalah kepadatannya yang sangat tinggi. Ruko (shop houses) merupakan ide pemecahan yang sangat cerdik untuk menanggulangi masalah tersebut. Ruko merupakan perpaduan antara daerah bisnis di lantai bawah dan daerah tempat tinggal di lantai atas. Bangunan tersebut membuat suatu kemungkinan kombinasi dari kepadatan yang tinggi dan intensitas dari kegiatan ekonomi di daerah Pecinan. Bahkan ada suatu penelitian di satu daerah Pecinan yang terdiri dari deretan ruko-ruko, bahwa 60% dari luas lantai diperuntukkan bagi tempat tinggal dan 40 % nya dipergunakan untuk bisnis (Handinoto, 1999). Ilmu ruang Cina yang sering disebut sebagai Fengshui, sering diterapkan pada bangunan ruko pada masa lampau. Fengshui didasari oleh gagasan kuno bahwa manusia harus hidup selaras dengan kosmos dan menyejajarkan aturan-aturan yang menentukan terjaganya harmoni-harmoni kosmis itu, khususnya aturan aturan pembangunan rumah. Untuk menentukan 5 Kelenteng dalam lingkungan Pecinan bukan hanya sebagai tempat kehidupan keagamaan saja, tapi juga merupakan ungkapan lahiriah masayarakat yang mendukungnya. Oleh sebab itu suatu penyelidikan mengenai kelenteng dalam suatu lingkungan Pecinan sebenarnya dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk memahami lingkungan sosial masyarakat yang bersangkutan. Untuk menentukan arah para pakar menggunakan semacam kompas khusus (luopan) yang berpenampilan rumit, sedang untuk menunjuk ukuran, mereka menggunakan penggaris khusus yang panjangnya 43 cm. Teknik-teknik tersebut telah diperkenalkan di Jawa sejak abad ke 17 (Lombard, 1996, jilid 2: 227).

Bentuk dasar dari ruko di daerah Pecinan dindingnya terbuat dari bata dan atapnya berbentuk perisai dari genting. Setiap unit dasar mempunyai lebar 3 sampai 6 meter, dan panjangnya kurang lebih 5 sampai 8 kali lebarnya. Pada setiap unit ruko terdapat satu atau dua meter teras sebagai transisi antara bagian ruko dan jalan umum. Bentuk ruko yang sempit dan memanjang tersebut menyulitkan pencahayaan dan udara bersih yang sehat masuk kebagian tengah dan belakang. Untuk mengatasi hal itu maka dipecahkan dengan pembukaan dibagian tengahnya, yang bisa langsung berhubungan dengan langit (berupa “courtyard”).Sebelum adanya infrastruktur dasar kota seperti suplai air bersih, listrik dan transportasi publik (baru ada di kota-kota besar di Jawa setelah tahun 1920an), maka perumahan ruko tersebut air bersihnya di suplai dengan sumur (yang ditaruh di daerah courtyard) dan penerangannya dengan lampu minyak tanah. Sedangkan transportasi publik yang sederhana mengakibatkan jalan-jalan di daerah Pecinan yang sudah padat tersebut bertambah padat dengan kendaraan pedati cikar dan delman. Oleh sebab itu orang-orang Cina yang sudah kaya rumah tinggalnya kemudian pindah ke daerah yang lebih longgar, meskipun tempat kerjanya tetap di daerah Pecinan. Satu deretan ruko bisa terdiri dari belasan unit yang digandeng menjadi satu. Dan orang-orang yang lebih kaya bisa memiliki lebih dari 1 unit dalam deretan ruko tersebut. Pada awal perkembangannya detail-detail konstruksi dan ragam hiasnya sarat dengan gaya arsitektur Cina (Handinoto, 1999). Tapi setelah akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sudah terjadi percampuran dengan sistim konstruksi (mulai memakai kuda-kuda pada konstruksi atapnya) dan ragam hias campuran dengan arsitektur Eropa. Bahkan pada pertengahan abad 20 sampai akhir abad ke 20 corak arsitektur Cinanya sudah hilang sama sekali. Pada akhir abad ke 20 corak arsitektur ruko sudah berkembang lebih pesat lagi. Meskipun bentuk dasarnya pada 1 unit ruko masih belum banyak mengalamai perubahan, tapi tampak luarnya merupakan pencerminan arsitektur pasca modern yang sedang melanda dunia arsitektur di Indonesai dewasa ini, tidak ada sedikitpun corak arsitektur Cinanya yang tertinggal.

Pola seperti klenteng, pasar, pelabuhan dan akses jalan utama yang tegak lurus garis pantainya merupakan elemen dasar dari inti pemukiman Cina di daerah tersebut. Klenteng dipersembahkan pada dewa pelindung untuk pelaut, atau secara populer disebut sebagai Ma Zu (Mak Co), yang selalu terdapat dan berhubungan langsung dengan pelabuhan (Widodo, 1996:223). Gambaran ini dipertegas oleh  Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604 yang melukiskan kesannya pada daerah Pecinan sebagai berikut: “Sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah merupakan sebuah kota di dalam kota. Letaknya di sebelah barat kota dan dipisahkan oleh sebuah sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui sungai” (Lombard, 1996, jilid 2:275). Kawasan Pecinan merupakan kawasan yang bisa hidup secara mandiri. Oleh karena itu, pada masa kolonial kawasan ini juga berfungsi sebagai daerah perisai bagi kota Batavia jika sewaktu-waktu terjadi serangan dari luar. Namun, pola awal pemukiman Cina di kota ini sekarang sudah berubah.  Hal ini disebabkan oleh perubahan morpologi kota yang sangat cepat, dan perubahan garis pantai yang terus menjorok kelaut dari tahun ke tahun. Sehingga pola-pola kota tua sudah tidak terlihat lagi.

Penulis:
Hikmah Rafika Mufti
Analis Kebijakan Ahli Muda
Asisten Deputi Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Editor:
Usman Manor
Analis Sumber Sejarah
Asisten Deputi Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Malari di Pusaran Isu Kudeta dan Tuntutan Kemandirian Ekonomi

Berawal dari kritik mahasiswa terhadap pemerintah yang membuka pintu untuk modal asing kemudian berubah menjadi penolakan terhadap kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka hingga terjadi huru-hara di Jakarta dan berakhir dengan tindakan represif pemerintah terhadap organisasi masyarakat maupun organisasi mahasiswa.

Siang ini mendung menyelimuti kawasan Proyek Senen, Jakarta Pusat. Persimpangan kawasan tersebut kini semakin estetik dan instagramable pasca direnovasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dilengkapi dengan lintas bawah (underpass). Perlahan kemacetan dan keruwetan kawasan Senen yang telah menjadi pemandangan sehari-hari di salah satu pusat kegiatan perekonomian di Jakarta tersebut mulai terurai. Bila hari ini lalu lalang Bus Transjakarta dan dinamika kegiatan masyarakat pada masa pandemi Covid-19 menjadi pemandangan di kawasan Proyek Senen, beda halnya dengan pemandangan Proyek Senen 47 tahun yang lalu. Pada Selasa, 15 Januari 1974, kawasan yang dibangun dengan anggaran milyaran rupiah ini menjadi saksi bisu terjadinya peristiwa huru-hara, penjarahan, dan pembakaran produk-produk made in Japan.

Kondisi mencekam yang terjadi di Jakarta merupakan bentuk protes terhadap kunjungan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka pada 14 Januari 1974 hingga 17 Januari 1974. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (Malari). Sejatinya Malari merupakan puncak gunung es akibat ketidakpuasan rakyat yang diwakili oleh mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang membuka pintu lebar bagi masuknya modal asing. Malari juga disinyalir menjadi puncak persaingan antara orang terdekat dipusaran kekuasaan Presiden Soeharto, yaitu Ali Moertopo dan Jendral Soemitro.

Pasca jatuhnya Presiden Soekarno dan pemerintahan Orde Lama, Presiden Soeharto yang membawa gerbong pemerintahan Orde Baru mewarisi hutang dan inflasi yang sangat besar. Pemerintah kemudian mengambil langkah taktis dengan membuka masuknya investasi asing yang sebelumnya ditutup rapat oleh pemerintah Orde Lama. Mulai dari Adam Malik hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX berupaya mempromosikan Indonesia di luar negeri. Presiden Soeharto pun berupaya melakukan perdamaian dengan Malaysia dan bergabung kembali menjadi anggota PBB.

Fokus utama pemulihan perekonomian diupayakan melalui perdamaian dengan negara sekitar dan memelihara stabilitas keamanan. Fundamental ekonomi menjadi perhatian, terutama bagi Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, dan kawan-kawan yang disebut dengan istilah Mafia Berkley. Pundi-pundi investasi mulai mengalir deras ke Indonesia berkat para ekonom handal tersebut. Perlahan perekonomian Indonesia kembali berdenyut dan mengalami pertumbuhan.

Memasuki tahun 1970, pemerintah mulai percaya diri terhadap pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan dan upaya Indonesianisasi terhadap aset maupun modal asing sehingga gap antara si kaya dan si miskin tetap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Denyut perekonomian yang cenderung mengarah pada kapitalisme memicu timbulnya persaingan terutama di pusaran pemerintahan. Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro menjadi dua tokoh yang disinyalir terlibat persaingan sengit guna menjadi orang terdekat Presiden Soeharto. Sejalan dengan hal tersebut, korupsi juga tumbuh subur.

“Bangsa kita sudah menjadi kapitalis besar yang mengejar keuntungan dan pertumbuhan tanpa melihat aspek sosial. Kita hanya bicara soal pasar seakan pasar bisa mendistribusikan kekayaan,” ungkap Hariman Siregar. Kegamangan terhadap pemerintahan mulai dirasakan tidak hanya oleh Hariman Siregar, melainkan pula oleh J.C. Poncke Princen, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, termasuk oleh para mahasiswa untuk melayangkan kritik.

Adanya asisten pribadi presiden disinyalir memicu munculnya persaingan tidak sehat di lingkungan terdekat presiden. Tidak hanya itu, korupsi dan harga yang melambung tinggi menjadi fokus perhatian para pengkritik pemerintah. Sebenarnya aliran investasi asing yang masuk ke Indonesia belum besar jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura pada periode tersebut. Namun, pemerataan yang tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat membuat munculnya protes. Isu-isu tersebut tidak hanya pada tatanan akar rumput melainkan sudah sampai ke permukaan, bahkan ke telinga presiden Soeharto. Akan tetapi, aliran investasi asing tetap masuk ke Indonesia, seakan tidak peduli dengan gelombang kritik dan protes yang digawangi oleh mahasiswa.

Sebagai kekuatan ekonomi baru pasca perang dunia II, Jepang mulai mengembangkan perekonomian dan berupaya menanamkan investasi melalui perusahaan-perusahaan multinasionalnya. Indonesia menjadi salah satu bidikan Jepang guna menanamkan investasi. Gayung pun bersambut, Indonesia yang sangat mengincar pertumbuhan menerima keinginan Jepang untuk mengembangkan bisnis di Indonesia. Wujud nyata upaya tersebut adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Jakarta guna membahas kerjasama.

Beberapa hari sebelum peristiwa Malari tepatnya pada 11 Januari 1974, mahasiswa yang dikomandoi oleh Hariman Siregar menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta. Para mahasiswa kemudian menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang dikenal dengan Tritura Baru, yaitu Bubarkan Asisten Pribadi Presiden, Turunkan Harga, dan Ganyang Korupsi. Tuntutan ini kemudian menjadi pintu gerbang aksi-aksi protes yang lebih keras terhadap pemerintah yang diwujudkan melalui diskusi hingga long-march.

Diskusi yang lebih sistematis kemudian dilakukan di Kampus Trisakti pada 15 Januari tersebut. Kemudian mahasiswa menuju kampus UI Salemba. Di lain pihak, beberapa kelompok mahasiswa berupaya mencegah iring-iringan Perdana Menteri Tanaka di Halim. Namun, upaya tersebut digagalkan oleh tentara yang berjaga di kawasan Bandara Halim Perdana Kusuma. Kelompok ormas dan mahasiswa kemudian melakukan aksi long-march sebagai bentuk protes terhadap kedatangan Perdana Menteri Negara Matahari Terbit tersebut.

Unjuk rasa kemudian berubah menjadi huru-hara dan penjarahan. Kawasan Proyek Senen menjadi sasaran penjarahan. Bahkan proyek yang dibangun dengan biaya milyaran rupiah ini dibakar sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tetap membuka kran investasi asing. Pada Selasa kelabu tersebut, sebanyak 807 kendaraan buatan Jepang ludes dilalap si jago merah, 11 orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 144 bangunan rusak berat, dan sekitar 160 kg emas hilang dari toko perhiasan.

Pasca peristiwa Malari ini, investasi Jepang tetap mengalir ke Indonesia. Upaya pertumbuhan tetap menjadi fokus utama bagi pemerintah. Di sisi lain, pemerintah menganggap peristiwa Malari sebagai upaya mengkudeta kedudukan Presiden Soeharto sehingga pengkritik yang dikenal lantang menyuarakan aspirasi diganjar dengan hukuman penjara, seperti  Hariman Siregar, J.C. Poncke Princen, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Adnan Buyung Nasution. Sekitar 775 aktivis pun merasakan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, dua kubu yang bertikai, yaitu Jendral Soemitro dan Ali Moertopo kemudian dipinggirkan dari lingkungan terdekat Presiden Soeharto.

Pemerintah pun kemudian mulai mencanangkan Nasionalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) guna meredam politik hingga kritik yang berasal dari kampus maupun akademisi. Tindakan-tindakan represif tersebut kemudian membungkam upaya kritik terhadap pemerintah yang di kemudian hari justru menjadi bumerang bagi pemerintah Orde Baru. Sekali lagi peristiwa sejarah memberikan cerminan bahwa investasi asing perlu dibarengi dengan upaya alih daya, alih modal, dan Indonesianisasi sehingga pemerataan ekonomi dapat diwujudkan, tidak hanya semata berpijak pada upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Selain itu, peristiwa ini juga mengajarkan kita semua bahwa upaya menutup kritik justru memicu pada dua hal, yaitu antipati rakyat dan degradasi kepercayaan terhadap pemerintah.

Selengkapnya
Sembari Dinas