Keadilan tidak bisa tegak dengan sendirinya namun harus ada manusia yang istiqamah untuk terus menegakkannya. Dalam menegakkan keadilan, hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia adalah ilmu.

Salah satu peristiwa penting dalam hidup saya yang terkadang saya bingung harus khawatir dan bangga adalah ketika saya diterima sebagai Hakim. Bingung karena berkarier sebagai hakim bukan impian saya sejak awal masuk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2011. Boleh dikatakan ini peristiwa yang kebetulan ketika saya diterima sebagai Hakim oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Di satu sisi saya merasa khawatir tidak dapat menjalankan amanah yang berat sebagai hakim namun di sisi yang lain mungkin ini jalan yang Allah tunjukan pada saya untuk mengabdi di negeri ini dan berkontribusi di masyarakat. Saya percaya bahwa Allah tidak pernah salah menempatkan seseorang untuk menjalankan amanah tertentu karena dalam perjalanannya banyak pelajaran yang saya ambil ketika menjalani profesi sebagai hakim. Jalan hidup ini mengajarkan saya bahwa keadilan tidak bisa tegak dengan sendirinya. Ia bisa tegak ketika ada manusia yang istiqamah (konsisten) untuk terus menegakkannya. Namun, dalam menegakkan keadilan manusia memiliki keterbatasan karena keadilan yang bisa ditegakkan oleh manusia bukanlah keadilan yang hakiki namun keadilan relatif yang bisa saja dinilai tidak adil oleh manusia lainnya. Keadilan yang hakiki adalah keadilan yang ada di langit yang hanya bisa diberikan oleh Allah karena Allah adalah sebenar-benarnya hakim di hari akhir nanti. Sebagaimana dalam firmanNya di dalam surat At-Tin ayat 8 yang artinya “Bukankah Allah hakim yang paling adil?”. Firman ini secara fundamental menegaskan bahwa tidak ada hakim yang paling adil selain Allah.

Ketika kita tahu bahwa kita tidak akan bisa mendapatkan keadilan yang hakiki lantas apakah kita harus berpasrah. Di titik ini saya menyadari bahwa tugas dari seorang hakim adalah berikhtiar untuk mendekatkan keadilan yang relatif ini dengan keadilan hakiki tujuannya agar masyarakat tidak pasrah dan tetap percaya bahwa keadilan yang diberikan adalah keadilan yang sebaik-baiknya yang bisa diupayakan oleh manusia. Saya menyadari hakim juga manusia tempatnya salah dan bias namun sebagai hakim saya juga menyadari ada tanggung jawab yang besar bagi seorang hakim untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, sebagai seorang hakim agar saya terus dapat memberikan keadilan yang terbaik bagi masyarakat maka yang harus saya lakukan adalah tetap belajar dan memperdalam ilmu. 

Bekerja adalah Belajar

Pengadilan Negeri Mandailing Natal adalah tempat pertama saya bekerja sekaligus belajar mengenal dunia peradilan secara lebih luas. Selama ini belajar mengenai peradilan hanya di bangku kuliah dan artikel-artikel yang menjelaskan bahwa dunia peradilan Indonesia sangat bobrok dan tidak bisa diharapkan. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa “jangan percaya sama orang di dua tempat ini yaitu di terminal dan pengadilan”. Adagium ini secara eksplisit mengatakan bahwa pengadilan adalah tempat ketidakjujuran dan kecurangan bukan tempat untuk mencari keadilan.

Bekerja di lembaga yang terbebani dengan adagium seperti ini membuat saya sulit bekerja dengan optimal. Apalagi, istri dan anak saya saat ini jauh berada di Sukabumi karena beberapa alasan tidak bisa menemani saya dinas dalam waktu dekat. Namun, segala kesulitan ini membuat saya berpikir lebih dalam “bukankan pelaut yang tangguh lahir dari laut yang berombak”. Kesulitan yang saya hadapi ini bukanlah tanpa maksud dari sang pencipta. Ini adalah arena untuk memperbaiki dan mengembangkan diri. Kesulitan ini melatih mental saya untuk tidak menjadi manusia dengan mental “kaleng-kaleng”. Hari demi hari saya lalui dengan berdoa agar Tuhan merahmati segala ketukan palu yang saya ayunkan untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. Kadang dilema datang untuk menghadirkan ragu namun doa adalah penguat bahwa semua akan baik-baik saja.

Sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa keadilan tidak bisa tegak dengan sendirinya namun harus ada manusia yang istiqamah untuk terus menegakkannya. Dalam menegakkan keadilan, hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia adalah ilmu. Ilmu laksana cahaya dalam gelap. Ia mencerahkan, memberikan petunjuk kepada manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Hakim dalam memberikan keadilan tidak bisa hanya mengandalkan intuisi semata namun dibutuhkan ilmu yang mendalam terhadap permasalahan tersebut. Putusan hakim yang tidak didasarkan pada ilmu hanya menghadirkan kesesatan dan tidak mungkin bisa mencapai keadilan. Putusan hakim merupakan gambaran pemikiran hakim tersebut terhadap permasalahan yang diajukan ke muka pengadilan. Oleh sebab itu, ilmu merupakan modal utama bagi seorang hakim untuk menyelesaikan permasalahan dan memberikan keadilan di masyarakat.

Sumber Gambar: republika.go.id

Penulis: Catur Alfath Satriya (Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal)