Gemerlap Tahun Baru Imlek dirayakan oleh penduduk keturunan Tionghoa di seantero negeri, tak terkecuali di Jakarta. Imlek sejatinya merupakan tradisi umum untuk merayakan Tahun Baru yang tahun ini genap mencapai 2572. Dalam lintasan sejarah, tradisi ini selalu dirayakan oleh penduduk keturunan Tionghoa yang awal-mulanya menempati kawasan Pecinan, tak jauh dari pusat kota Batavia Lama.

Jakarta yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan Batavia merupakan salah satu kota pelabuhan. Di sini muncul wilayah-wilayah (perkampungan) baru yang dihuni oleh para pendatang, sehingga muncul perkampungan arab, perkampungan jawa, perkampunan cina, perkampungan ambon, perkampungan makasar, dan sebagainya. Sama seperti wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa, komunitas cina di Batavia tumbuh subur dan memiliki perkampungannya tersendiri yang sering kita kenal dengan sebutan pecinan. Pada tahun 1826 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang yang disebut sebagai wijkenstelsel. Undang-undang ini mengharuskan etnik-etnik yang ada di suatu daerah untuk tinggal di daerah yang telah ditentukan di dalam kota. Misalnya orang Cina harus tingal di Pecinan, maka yang tinggal di luar Pecinan harus pindah ke dalam wilayahnya sendiri yang telah ditentukan. Sehingga daerah-daerah etnik yang memang sudah ada di berbagai kota terutama di kota-kota pantai di Jawa lebih diperkuat lagi kehadirannya. Oleh sebab itu secara fisik kota–kota di Batavia kemudian dipisahkan secara jelas menjadi tiga wilayah besar. Pertama daerah orang Eropa (Europeesche Wijk), kedua daerah orang Cina (Chinezen Wijk) dan orang Timur asing lainnya (Vreemde Oosterlingen) serta yang ketiga adalah daerah tempat tinggal orang pribumi setempat. Undang-undang wilayah (Wijkenstelsel) ini pada hakekatnya malah memperkuat kehadiran daerah pecinan dalam tata ruang kota di Jawa. Wijkenstelsel ini secara resmi dihapuskan pada tahun 1920an.

Lingkungan Pecinan merupakan lingkungan yang paling urban di daerah perkotaan di Jawa. Asas-asas geometris tampak diterapkan dalam lingkungan Pecinan. Menurut Denys Lombard (1996) dalam karyanya Nusa Jawa Silang Budaya, wilayah Pecinan mirip dengan kota-kota di barat dan sangat kontras dengan tatanan wilayah tetangganya yang seringkali mirip dengan kampung. Pecinan banyak dianggap sebagai bagian dari Kota Tua, sementara kota Tua juga dianggap sebagai bagian Pecinan Jakarta. Namun, daerah ini sesungguhnya memiliki otoritas wilayah tersendiri. Pecinan yang terletak di wilayah di Jakarta yang banyak dikenal adalah wilayah Petak Sembilan, Pancoran Glodok, hingga wilayah  Beos. Batavia yang notabene adalah kota dekat pantai mengalami perkembangan sepanjang jaman. Mulai dari pendirian pos dagang sampai kota benteng dan akhirnya sebagai Kotamadya (Gemeente) dan ibukota propinsi. Berbagai grosir besar hingga pedagang eceran dapat ditemui di kawasan yang membentang hingga wilayah Pinangsia (dahulu Finacieren, pusat keuangan) di timur, Perniagaan, Pasar Pagi, Asemka, dan Bandengan (dahulu Bacheragracht) di utara. Dalam hal ini, wilayah Pecinan ini selalu mengambil peran sebagai wilayah perdagangan eceran dan sebagai pedagang perantara. Memang ada beberapa pedagang Cina yang menjadi pedagang besar dan meningkatkan perannya sebagai eksportir pada akhir abad 19 dan awal abad 20 tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang eceran dan perantara yang hidup di daerah pecinan. Dari hasil penelitian Widodo (1996: 201-207), terlihat bahwa daerah Pecinan dalam tata ruang kota-kota pantai sampai pada tahun 1940an masih mengambil peran yang cukup berarti.

Pecinan sebagai Salah satu Pusat Perekonomian Batavia

Pada zaman kolonial, kebanyakan orang Cina berperan sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Kedudukan ini menempatkan orang Cina sebagai pedagang perantara orang pribumi yang menghasilkan produk-produk pertanian kemudian menjualnya pada pedagang-pedagang besar Eropa. Di samping itu, orang Cina juga berperan sebagai distributor barang-barang eceran. Itulah sebabnya daerah pecinan sering terletak di antara daerah orang pribumi dan daerah orang Eropa (Europeesche Wijk ). Daerah pecinan biasanya juga harus dekat dengan pasar tradisional, karena pasar adalah tempat jual-beli dan pertukaran barang-barang eceran kebutuhan sehari-hari. Wilayah Pecinan yang terkenal di Batavia hingga saat ini berada di kawasan Glodok-Pancoran. Kawasan ini mampu berkembang menjadi pusat bisnis dan ekonomi di Batavia. Ada kisah menarik dari dibangunnya kawasan ini. Pada masa itu, Pemerintah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sengaja membangun hunian di Glodok-Pancoran yang berada di luar benteng Belanda, tetapi masih dalam jangkauan tembakan meriam mereka. Strategi itu diterapkan demi alasan keamanan para kolonis Belanda dan warga penghuni benteng pasca Perang China yang diawali dengan pembantaian 10.000 orang Tionghoa di dalam Benteng Batavia. Kawasan pecinan yang sejalan dengan pertumbuhan kegiatan perdagangan menyebabkan adanya ciri khas pada fisik bangunannya. Rumah Toko (ruko) merupakan bangunan khas Pecinan. Khol (1984) yang banyak mengunjungi kota-kota pelabuhan (kota bawah) di propinsi Guangdong dan Fujian serta daerah Pecinan di kota-kota pantai Asia Tenggara, mengatakan bahwa ruko merupakan “landmark” di kota-kota tersebut.

Salah satu ciri khas daerah Pecinan adalah kepadatannya yang sangat tinggi. Ruko (shop houses) merupakan ide pemecahan yang sangat cerdik untuk menanggulangi masalah tersebut. Ruko merupakan perpaduan antara daerah bisnis di lantai bawah dan daerah tempat tinggal di lantai atas. Bangunan tersebut membuat suatu kemungkinan kombinasi dari kepadatan yang tinggi dan intensitas dari kegiatan ekonomi di daerah Pecinan. Bahkan ada suatu penelitian di satu daerah Pecinan yang terdiri dari deretan ruko-ruko, bahwa 60% dari luas lantai diperuntukkan bagi tempat tinggal dan 40 % nya dipergunakan untuk bisnis (Handinoto, 1999). Ilmu ruang Cina yang sering disebut sebagai Fengshui, sering diterapkan pada bangunan ruko pada masa lampau. Fengshui didasari oleh gagasan kuno bahwa manusia harus hidup selaras dengan kosmos dan menyejajarkan aturan-aturan yang menentukan terjaganya harmoni-harmoni kosmis itu, khususnya aturan aturan pembangunan rumah. Untuk menentukan 5 Kelenteng dalam lingkungan Pecinan bukan hanya sebagai tempat kehidupan keagamaan saja, tapi juga merupakan ungkapan lahiriah masayarakat yang mendukungnya. Oleh sebab itu suatu penyelidikan mengenai kelenteng dalam suatu lingkungan Pecinan sebenarnya dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk memahami lingkungan sosial masyarakat yang bersangkutan. Untuk menentukan arah para pakar menggunakan semacam kompas khusus (luopan) yang berpenampilan rumit, sedang untuk menunjuk ukuran, mereka menggunakan penggaris khusus yang panjangnya 43 cm. Teknik-teknik tersebut telah diperkenalkan di Jawa sejak abad ke 17 (Lombard, 1996, jilid 2: 227).

Bentuk dasar dari ruko di daerah Pecinan dindingnya terbuat dari bata dan atapnya berbentuk perisai dari genting. Setiap unit dasar mempunyai lebar 3 sampai 6 meter, dan panjangnya kurang lebih 5 sampai 8 kali lebarnya. Pada setiap unit ruko terdapat satu atau dua meter teras sebagai transisi antara bagian ruko dan jalan umum. Bentuk ruko yang sempit dan memanjang tersebut menyulitkan pencahayaan dan udara bersih yang sehat masuk kebagian tengah dan belakang. Untuk mengatasi hal itu maka dipecahkan dengan pembukaan dibagian tengahnya, yang bisa langsung berhubungan dengan langit (berupa “courtyard”).Sebelum adanya infrastruktur dasar kota seperti suplai air bersih, listrik dan transportasi publik (baru ada di kota-kota besar di Jawa setelah tahun 1920an), maka perumahan ruko tersebut air bersihnya di suplai dengan sumur (yang ditaruh di daerah courtyard) dan penerangannya dengan lampu minyak tanah. Sedangkan transportasi publik yang sederhana mengakibatkan jalan-jalan di daerah Pecinan yang sudah padat tersebut bertambah padat dengan kendaraan pedati cikar dan delman. Oleh sebab itu orang-orang Cina yang sudah kaya rumah tinggalnya kemudian pindah ke daerah yang lebih longgar, meskipun tempat kerjanya tetap di daerah Pecinan. Satu deretan ruko bisa terdiri dari belasan unit yang digandeng menjadi satu. Dan orang-orang yang lebih kaya bisa memiliki lebih dari 1 unit dalam deretan ruko tersebut. Pada awal perkembangannya detail-detail konstruksi dan ragam hiasnya sarat dengan gaya arsitektur Cina (Handinoto, 1999). Tapi setelah akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sudah terjadi percampuran dengan sistim konstruksi (mulai memakai kuda-kuda pada konstruksi atapnya) dan ragam hias campuran dengan arsitektur Eropa. Bahkan pada pertengahan abad 20 sampai akhir abad ke 20 corak arsitektur Cinanya sudah hilang sama sekali. Pada akhir abad ke 20 corak arsitektur ruko sudah berkembang lebih pesat lagi. Meskipun bentuk dasarnya pada 1 unit ruko masih belum banyak mengalamai perubahan, tapi tampak luarnya merupakan pencerminan arsitektur pasca modern yang sedang melanda dunia arsitektur di Indonesai dewasa ini, tidak ada sedikitpun corak arsitektur Cinanya yang tertinggal.

Pola seperti klenteng, pasar, pelabuhan dan akses jalan utama yang tegak lurus garis pantainya merupakan elemen dasar dari inti pemukiman Cina di daerah tersebut. Klenteng dipersembahkan pada dewa pelindung untuk pelaut, atau secara populer disebut sebagai Ma Zu (Mak Co), yang selalu terdapat dan berhubungan langsung dengan pelabuhan (Widodo, 1996:223). Gambaran ini dipertegas oleh  Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604 yang melukiskan kesannya pada daerah Pecinan sebagai berikut: “Sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah merupakan sebuah kota di dalam kota. Letaknya di sebelah barat kota dan dipisahkan oleh sebuah sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui sungai” (Lombard, 1996, jilid 2:275). Kawasan Pecinan merupakan kawasan yang bisa hidup secara mandiri. Oleh karena itu, pada masa kolonial kawasan ini juga berfungsi sebagai daerah perisai bagi kota Batavia jika sewaktu-waktu terjadi serangan dari luar. Namun, pola awal pemukiman Cina di kota ini sekarang sudah berubah.  Hal ini disebabkan oleh perubahan morpologi kota yang sangat cepat, dan perubahan garis pantai yang terus menjorok kelaut dari tahun ke tahun. Sehingga pola-pola kota tua sudah tidak terlihat lagi.

Penulis:
Hikmah Rafika Mufti
Analis Kebijakan Ahli Muda
Asisten Deputi Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Editor:
Usman Manor
Analis Sumber Sejarah
Asisten Deputi Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.