Sembari Dinas

Mengabdi untuk Negeri dalam Bingkai Kebangkitan Nasional

Sekolah Kedokteran Bumiputra atau School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran pada 1 Maret 1902. Sekolah yang kemudian dikenal sebagai STOVIA tersebut sangat menjunjung tinggi kedisiplinan dan tanggung jawab. Kelak STOVIA tidak hanya membidani kelahiran dokter-dokter yang berjasa dalam memberantas penyakit menular dan menyelematkan banyak nyawa rakyat pribumi, melainkan pula mengilhami munculnya era baru perkembangan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan melalui Boedi Oetomo. Kini, 120 tahun pasca STOVIA menyelenggarakan pembelajaran untuk kali pertama, semangat pengabdian yang dimiliki oleh dokter-dokter lulusan STOVIA dan tokoh-tokoh pergerakan nasional terus dilanjutkan oleh Abdimuda Indonesia dalam semangat “Mengabdi untuk Negeri”.

Kala itu wabah penyakit menular tengah melanda Hindia Belanda, tak terkecuali Batavia (Jakarta). Rencana peresmian STOVIA sebagai tempat belajar mengajar calon dokter bumiputra pun sempat tertunda. Namun demikian, adanya wabah penyakit malaria, kolera, dan sebagainya tidak menjadi halangan bagi kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut justru menjadi pemantik semangat untuk membebaskan masyarakat Hindia Belanda dari penyakit menular. Semangat tersebut kian hari justru semakin meningkat bukan hanya untuk membebaskan masyarakat dari penyakit, melainkan mengangkat harkat dan martabat penduduk pribumi untuk merdeka dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pada tahun 1907, Dokter Wahidin Soedirohoesodo mengadakan ceramah tentang Studie Founds (beasiswa) dihadapan pelajar STOVIA yang menjadi pemicu bagi tumbuhnya semangat nasionalisme hingga pada 20 Mei 1908 pelajar STOVIA mendeklarasikan berdirinya organisasi modern pertama Boedi Oetomo dengan Dokter Soetomo dan Dokter Wahidin sebagai pelopor. Tak hanya sampai di situ, Tri Koro Dharmo pun berdiri sebagai organisasi kepemudaan pada 7 Maret 1915. Semangat untuk merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan seakan menjadi “virus” yang menular di setiap jiwa raga pemuda kala itu hingga bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Jasa besar STOVIA dalam proses pergerakan nasional dan proses pembangunan bangsa serta negara membuat STOVIA menjadi Museum Kebangkitan Nasional sejak 7 Februari 1984. Melalui Museum, diharapkan memori mengenai peristiwa kebangkitan nasional yang dipelopori oleh pemuda dapat dilindungi, dimanfaatkan, dikembangkan, serta dikomunikasikan kepada masyarakat, terutama generasi penerus melalui fungsi pengkajian, pendidikan, dan hiburan. Museum sendiri telah memiliki aturan khusus yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum. Kini, Museum berupaya dikembangkan melalui peningkatan akses informasi, pemanfaatan Museum sebagai sarana kebudayaan, dan optimalisasi Museum sebagai bagian dari pemajuan kebudayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui pengembangan tersebut, diharapkan Museum dapat menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya kemampuan berpikir serta kreatifitas masyarakat.

Kreatifitas, semangat mengabdi, dan kerangka berpikir mengenai kebangsaan yang terdapat di Museum Kebangkitan Nasional mengilhami Abdimuda Indonesia untuk mengadakan kegiatan ASN Fest 2022. Inklusifitas, kebermanfaatan, dan kontribusi yang selama ini menjadi isu yang diusung oleh Abdimuda Indonesia turut diimplementasikan dalam ASN Fest 2022. Untuk itu, Museum Kebangkitan Nasional dipilih sebagai lokasi Inaugurasi. Momentum kegiatan pasca Pandemi Covid-19, kesadaran akan hak disabilitas, dan konektivitas antar sesama pemuda dari Kementerian, Lembaga, BUMN, Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Umum sangat relevan dengan momentum kebangkitan nasional yang dahulu diusung oleh para dokter lulusan STOVIA pasca mewabahnya penyakit menular dan meluasnya pengaruh kolonial.

Kini, zaman telah berganti. STOVIA telah tiada, berganti menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Namun relevansi masa lalu dengan masa kini dan semangat Mengabdi untuk Negeri seyogyanya tetap terawat. Jika dahulu para dokter lulusan STOVIA berupaya membebaskan masyarakat dari penyakit menular dan memerdekakan masyarakat dari belenggu penjajah, kini Abdimuda Indonesia berupaya untuk berkolaborasi serta menebar manfaat tanpa henti.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Menguak Serambi Edukasi pada Peninggalan Arkeologis Muarajambi

Muarajambi merupakan satu dari tujuh Kawasan Strategis Nasional Lingkup Sosial Budaya. Pada kawasan tersebut, terselip khazanah kebudayaan dan edukasi pada masa lampau. Khazanah tersebut menjadi muara bagi peradaban di tepi Sungai Batanghari sejak abad VII hingga kini.

Pemajuan dan pelestarian kebudayaan merupakan upaya untuk meningkatkan peran kebudayaan dalam pembangunan. Upaya tersebut diharapkan mampu menjadikan masyarakat lebih beradab, maju, mandiri, dan sejahtera berdasarkan prinsip kebhinnekaan, toleransi, serta gotong-royong. Untuk itu, pembangunan kebudayaan menggunakan empat langkah strategis yang ditempuh melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Melalui keempat langkah tersebut, keragaman budaya Indonesia dihargai dan diakui dengan menempatkan masyarakat sebagai pemilik sekaligus penggerak kebudayaan serta menempatkan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memajukan kebudayaan adalah menjadikan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Di Indonesia terdapat 76 KSN yang terdiri dari 27 KSN Ekonomi, 25 KSN Lingkungan Hidup, 7 KSN Sosial Budaya, 8 KSN Teknologi Tinggi, dan 9 KSN Pertahanan dan Keamanan. Saat ini terdapat 18 KSN yang telah dilakukan penyusunan Rencana Tata Ruangnya. Pedoman dalam penyusunan RTR KSN terdiri dari Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang KSN; Rencana Struktur Ruang KSN; Rencana Pola Ruang KSN; Arahan Pemanfaatan Ruang KSN; Arahan Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang KSN; serta Pengelolaan dan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang KSN.

Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan salah satu KSN yang ditetapkan dalam PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dari sudut kepentingan sosial budaya. Kawasan Cagar Budaya Muarajambi telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud Nomor 259/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional tanggal 30 Desember 2013 dan sedang dalam proses penetapan menjadi warisan budaya dunia UNESCO yang telah terdaftar dalam Tentatif List UNESCO nomor 5465 tanggal 6 Oktober 2009.

Berdasarkan hasil penetapan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sebagai Cagar Budaya Nasional, luas kawasan meliputi 3,981 ha yang terdiri dari Zona Inti 1 seluas 90,78 hektar; Zona Inti 2 seluas 363,31 hektar; Zona Penyangga seluas 2067,58 hektar; Zona Pengembangan seluas 1166,39 hektar; Zona Penunjang seluas 292,96 hektar. Selain itu, disepakati pula delineasi Kawasan dengan luas 21.288 Hektar yang mencakup 17 (tujuh belas) desa di Kecamatan Maro Sebo dan Kecamatan Taman Rajo.

Beberapa isu dalam pembangunan berkelanjutan di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi meliputi alih fungsi lahan, penurunan kualitas lingkungan hidup, kebencanaan, transportasi, ekonomi sektor perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta tata kelola. Berdasarkan analisis Kebijakan, Rencana, dan Program, terdapat sebaran jaringan yang terdampak dengan adanya RTR KSN, yaitu jaringan transportasi, jaringan limbah dan persampahan, jaringan energi/kelistrikan, serta kawasan daya lingkungan rendah. Pada jaringan limbah dan persampahan yang akan tercantum dalam KLHS, direkomendasikan untuk merelokasi kegiatan industri di sepanjang Sungai Batanghari guna mengurangi dampak pencemaran air, tanah, serta udara yang berpotensi mengancam keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dan kesehatan masyarakat sekitar.

Kawasan Cagar Budaya Muarajambi memiliki arti penting dan strategis di Indonesia. Khazanah kebudayaannya merupakan peninggalan Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya yang menjadi pusat peribadatan agama Budha terluas di Indonesia pada abad VII-XIII. Dalam sejarah regional, kerajaan Malayu dan Sriwijaya diakui sebagai kerajaan yang berpengaruh sangat luas, tidak hanya di Nusantara tetapi juga di daratan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya berperan penting dalam percaturan politik-ekonomi internasional yaitu sebagai penghubung antara India dan Cina pada masa itu. Muarajambi pernah menjadi pusat pendidikan Budisme abad V-VI.

Mengingat penting dan strategisnya Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dalam peradaban Indonesia, Pemerintah berupaya menguak peninggalan arkeologis Muarajambi dengan melibatkan unsur pentahelix, baik masyarakat, media, maupun akademisi. Ekspedisi Sungai Batanghari dan Kenduri Swarna Bhumi merupakan beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menggali potensi dan permasalahan di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, terutama di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Melalui upaya tersebut, diharapkan kebudayaan semakin menguat dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional yang berdampak pada masyarakat. Sejatinya, Muarajambi bukan hanya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan, melainkan sebagai muara bagi peradaban yang akan terus berkembang, kini dan nanti.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Menyelami Pemikiran dan Perjuangan Tjokroaminoto

Gagasan dalam pemikiran Tjokroaminoto mengenai kebangsaan dan kebudayaan melampaui perkembangan zaman sehingga diperlukan upaya untuk merawat ide dan gagasan tersebut melalui Pusat Kajian Kebudayaan di Yogyakarta yang disinergikan dengan keberadaan Museum Tjokroaminoto di Surabaya. Sinergi tersebut diharapkan mampu merawat pemikiran dan perjuangan sekaligus peninggalan Tjokroaminoto sebagai Guru dari para Bapak Bangsa.

Bulan Agustus tidak hanya menjadi bulan kelahiran Bangsa Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan, melainkan menjadi bulan kelahiran salah satu Guru Bangsa dan Raja tanpa Mahkota, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto yang dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1883. Beliau menjadi seorang Pahlawan Nasional sekaligus menjadi salah satu pelopor pergerakan dan guru para pemimpin besar di Indonesia. Berbagai macam ideologi bangsa Indonesia kala itu lahir dari gagasan pemikiran beliau. Kediamannya di daerah Peneleh, Surabaya merupakan saksi rekam jejak, kisah dan sejarah perjuangan bangsa dimulai. Kediaman beliau yang dahulu menjadi tempat tinggal Soekarno, Alimin, Darsono, Kartosuwiryo, Agus Salim, dan tokoh muda pergerakan nasional lainnya seakan menjadi laboratorium tempat berbagai pemikiran “dibedah” hingga berkembang menjadi paham kebangsaan. Tempat bersejarah ini kemudian diresmikan sebagai Museum HOS Tjokroaminoto pada 27 November 2017 oleh Pemerintah Kota Surabaya. Namun demikian, tulisan dan karya yang memuat ide serta gagasannya belum terinventarisir dengan baik.

Nilai-nilai kehidupan yang saat ini dikenal sebagai bagian dari nilai-nilai Revolusi Mental, seperti Etos Kerja, Gotong-Royong, dan Integritas sangat dipegang teguh oleh Tjokroaminoto dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang kepala keluarga, pemimpin organisasi Sarekat Islam yang terbesar di Hindia Belanda kala itu, dan guru bagi para pemuda revolusioner, Tjokroaminoto senantiasa memberikan contoh untuk memiliki etos kerja yang tinggi, selalu melakukan gotong royong untuk melakukan berbagai hal, dan menjunjung tinggi integritas. Hasilnya, organisasi yang beliau pimpin menjadi organisasi terbesar dan berhasil menyiapkan calon pemimpin masa depan. Tak heran bila beliau mendapat julukan Raja Jawa tanpa Mahkota dari Pemerintah Hindia Belanda dan Guru Bangsa dari handai taulan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Kini, bangunan fisik peninggalan Sang Guru Bangsa telah menjadi Museum di Surabaya. Namun, ide dan gagasan mengenai paham kebangsaan dari Sang Raja tanpa Mahkota perlu dirawat dan dilestarikan. Empat langkah strategis kebudayaan yang terdiri dari pelindungan, pengebangan, pemanfaatan, dan pembinaan menjadi solusi dalam upaya merawat dan melestarikan pemikiran beliau. Salah implementasi yang akan dilakukan dengan mengacu pada langkah strategis tersebut adalah membentuk Pusat Kajian Kebudayaan di sebuah kampus yang menyandang nama beliau, yaitu Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.

Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) merupakan salah satu perguruan tinggi yang turut menyandang nama pahlawan nasional HOS Tjokroaminoto, dengan nilai-nilai perjuangan Sarikat Islam menjadi inspirasi dalam kegiatan pengajaran. Kehidupan personal hingga totalitas Tjokroaminoto di kancah organisasi sejak tahun 1912 telah menjadi peta awal penuntun Indonesia sebagai negara berdaulat di tahun 1945. Beranjak dari hal tersebut UCY pada tahun 2019 melakukan Diskusi Publik bertajuk Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto yang melibatkan mahasiswa dengan tujuan agar mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa mengetahui sejarah pemikiran beliau dan tergerak melakukan perubahan melalui gagasan dari pemikiran Sang Guru Bangsa.

Gagasan kebangsaan dan nilai-nilai kehidupan yang telah ditanamkan oleh Tjokroaminoto perlu dirawat melalui pembentukan Pusat Kajian Kebudayaan yang di dalamnya secara khusus membedah pemikiran Tjokroaminoto sehingga mampu “menyiapkan jalan” sekaligus mendidik pemimpin masa depan. Saat ini di UCY terdapat Cokroaminoto Corner yang telah mendapatkan akreditasi dari Perpustakaan Nasional. Keberadaan Cokroaminoto Corner ini perlu dikembangkan menjadi Pusat Kajian Kebudayaan sehingga upaya pemajuan kebudayaan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan pemikiran Sang Guru Bangsa dapat diimplementasikan. Dengan demikian, fisik Museum Tjokroaminoto di Surabaya tetap terawat dan pemikiran kebangsaan Tjokroaminoto melalui Pusat Kajian Kebudayaan di Yogyakarta tetap berkembang. Mengutip perkataan Tjokroaminoto, sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasah.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Melestarikan Borobudur

Rencana Pembatasan Jumlah Pengunjung akan tetap mengedepankan aspek keamanan, kenyamanan, aktivitas keagamaan, edukasi, konservasi, dan pelibatan masyarakat. Upaya tersebut merupakan salah satu langkah untuk melestarikan Candi Borobudur sekaligus mendorong kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar Kawasan Borobudur.

Candi Borobudur merupakan cagar budaya Indonesia yang telah ditetapkan sebagai situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESO pada tahun 1991. Dalam penetapan Candi Borobudur menjadi Warisan Dunia, Candi Pawon dan Candi Mendut juga termasuk dalam penetapan karena dianggap memenuhi kriteria Nilai Universal Luar Biasa. Dibangun pada abad ke-8 dan 9 oleh Dinasti Syailendra, kompleks percandian ini merepresentasikan kemegahan tinggalan dinasti tersebut yang berkuasa di Jawa sampai dengan abad ke-10. Candi Borobudur juga menjadi salah satu monumen Buddha terbesar yang ada di dunia. Secara keseluruhan, Candi Borobudur memiliki 1.460 panel relief dan 504 stupa.

Dalam rangka melestarikan Candi Borobudur, Pemerintah Indonesia juga menetapkan kawasan tersebut sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) dengan tetap mengedepankan prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan upaya memadukan atraksi dengan destinasi. Selain itu, pelestarian Kawasan Borobudur juga menggunakan falsafah Memayu Hayuning Bawono sebagai landasan guna mengimplementasikan ilmu lingkungan hidup untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.

Dalam hal pariwisata, Indonesia mengalami peningkatan pembangunan pariwisata sebesar 3,4% dan perbaikan peringkat dari 42 menjadi 32 berdasarkan Travel and Tourism Development Index (TTDI) tahun 2021. Salah satu peningkatan signifikan terdapat pada pilar Sumber Daya Kebudayaan (Cultural Resources) yang menjelaskan peningkatan promosi, pelindungan, dan pengembangan kebudayaan. Peningkatan dan perbaikan dimaksud merupakan hasil dari kebijakan yang fokus pada pasar domestik melalui peningkatan kualitas infrastruktur pendukung dan pergeseran program dari pariwisata yang berkuantitas (quantity tourism) menjadi pariwisata yang berkualitas (quality tourism).

Sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia yang ada di Indonesia, Kawasan Borobudur berupaya menerapkan manajemen Warisan Budaya Indonesia yang menggunakan Prinsip Konservasi, Pendekatan Masyarakat dan Lingkungan, serta Investasi dan Keuntungan Ekonomi. Prinsip Konservasi dilakukan melalui Pembangunan Pusat Studi, Pelindungan Aset Warisan Budaya, Dukungan Pemeliharaan dan Manajemen Konservasi, dan Pembangunan Kampung Seni. Sementara Pendekatan Masyarakat dan Lingkungan dilakukan melalui Pemberdayaan UMKM, Pembangunan Penginapan, Pelatihan Pemandu Wisata, Penerapan Konsep Lingkungan Hijau, dan Penerapan Manajemen Pengolahan Sampah. Prinsip Konservasi dengan Pendekatan Masyarakat dan Lingkungan akan menghasilkan keuntungan ekonomi dan investasi melalui kegiatan pameran, pertemuan, dan pertunjukan berskala nasional maupun internasional.

Namun demikian, permasalahan utama pada pengembangan DPSP Borobudur adalah pembangunan kawasan Zona 2 sebagai Zona Penyangga (Zona Taman Arkeologi). Zona tersebut merupakan kawasan penting dengan luas 0,87 km² untuk melindungi properti warisan dunia, mempertahankan Nilai Universal Luar Biasa, dan memecah kepadatan pengunjung. Terkait dengan permasalahan tersebut, terdapat tiga isu yang harus diselesaikan, yaitu pengembalian fungsi Zona 2 sesuai dengan Integrated Tourism Master Plan (ITMP), penataan lahan parkir dan pedagang, serta pembatasan jumlah pengunjung.

Disamping penataan dan pembatasan pengunjung, terdapat pula isu mengenai pengelolaan penginapan (Homestay) dan Usaha Pariwisata lain di sekitar Borobudur. Peningkatan kualitas rumah melalui Homestay dan Usaha Pariwisata lain telah dilakukan dengan jumlah 362 Homestay dan 20 Usaha Pariwisata yang tersebar di 15 Desa dan 2 Kecamatan. Upaya tersebut beriringan dengan peningkatan kapasitas SDM yang mengelola Homestay, pembuatan aplikasi yang terintegrasi guna memudahkan pemasaran, dan pembentukan paguyuban pengelola Homestay.

Pada akhirnya, pengembangan pariwisata berkelanjutan perlu mempertimbangkan aspek pelestarian yang mencakup pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Keseimbangan antara pelestarian cagar budaya dan nilai universal luar biasa dengan pengembangan pariwisata Kawasan Borobudur akan menjaga keberlanjutan Warisan Budaya Dunia tersebut sekaligus menstimulus peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar Kawasan Borobudur.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Menyelami Masa Lalu Kerajaan Gowa

Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan Balla Lompoa berbentuk rumah khas Bugis, yaitu rumah panggung dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras.

Dalam kronologi sejarah Makassar yang erat kaitannya dengan peristiwa heroik melawan Kolonialisme, terdapat banyak peninggalan bersejarah yang hingga kini menjadi penanda kekuatan masa lalu. Sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara ketika masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Makassar menyimpan banyak peninggalan yang menjelaskan kemajuan kebudayaan masyarakat Bugis dengan persilangan kebudayaan Islam dan pengaruh kolonial yang membingkai peradabannya.

Salah satu peninggalan yang termahsyur di kalangan masyarakat Makassar, terutama masyarakat Kabupaten Gowa adalah Museum Balla Lompoa. Lokasinya tepat di tengah Kabupaten Gowa yang tak jauh dari Kota Makassar. Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936. Bayangkan, pada masa Kerajaan Gowa tengah mengalami kemunduran pasca menguatnya cengkraman Pemerintah Hindia Belanda, terutama sejak Sultan Hasanuddin berhasil ditaklukan oleh siasat VOC, petinggi kerajaan tetap mampu menghasilkan produk budaya dengan karakteristik dan otentisitas yang tinggi.

Memasuki Museum Balla Lompoa, kita disuguhkan tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Pemandangan di dalam Museum membuat kita kembali lagi ke masa kejayaan Kerajaan Gowa puluhan tahun yang lalu. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di Museum ini, terdapat sebuah singgasana yang diletakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang terpajang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan). Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980 dan diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Subadio yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan.

Dalam rangka memajukan kebudayaan terutama Museum, Pemerintah beberapa agenda strategis kebudayaan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, Resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum, dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022. Pada RKP Tahun 2022, secara spesifik disebutkan mengenai isu strategis kebudayaan yang berkaitan dengan pelindungan cagar budaya dan warisan budaya tak benda sebagai khazanah budaya bangsa. Selain itu, arah kebijakan pemajuan dan pelestarian kebudayaan pada tahun 2022 mencakup pula mengenai revitalisasi museum, taman budaya, sanggar, dan kelompok seni budaya sebagai pusat pengembangan talenta seni budaya, termasuk pemanfaatan gedung pemerintah yang tidak terpakai untuk kegiatan seni budaya.

Memasuki masa Pandemi Covid-19, Museum sebagai salah satu pusat pengembangan kebudayaan mengalami penurunan kegiatan dan aktivitas. Oleh sebab itu, revitalisasi, pengembangan, dan pemanfaatan Museum pada masa adaptasi kenormalan baru pasca Pandemi Covid-19 sangat diperlukan. Revitalisasi Kawasan Museum Balla Lompoa pun dilakukan untuk menjaga eksistensi budaya peninggalan Kerajaan Gowa, seperti rumah panggung khas masyarakat Bugis, alat perang, dan payung lalong sipue yang digunakan saat pelantikan raja, mempertahankan adat istiadat, serta memperindah kawasan museum sebagai salah satu ikon Kabupaten Gowa.

Untuk tetap menjaga eksistensi Museum Balla Lompoa, Dana Alokasi Khusus (DAK) dianggarkan guna memelihara sarana dan prasarana, mengembangkan program publik, dan memelihara koleksi. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Gowa pada tahun 2022 mengusulkan Museum Balla Lompoa menjadi Cagar Budaya tingkat Kabupaten. Keseluruhan upaya tersebut dilakukan dalam rangka merawat masa lalu Kerajaan Gowa yang penuh dengan peristiwa heroik dan kaya akan nilai dan norma. Menyelami masa lalu Kerajaan Gowa melalui Museum Balla Lompoa membawa kita pada pesan mengenai kemajuan peradaban dan keteraturan sistem masyarakat yang melahirkan kemajuan kebudayaan.

Selengkapnya
Uncategorized

Hati Merdeka Para Pemuda

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan suatu titik puncak dari  perjalanan panjang dalam rekam jejak sejarah bangsa Indonesia yang diwarnai oleh perjuangan fisik atau non fisik dan sporadis maupun terorganisir dengan mengorbankan moril maupun materil. Proklamasi kemerdekaan Indonesia memiliki arti penting karena dengan proklamasi, Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat serta terbebas dari belenggu penjajajah. Bagi generasi selanjutnya, arti penting proklamasi dapat dirasakan, bahkan hingga saat ini.

            Dalam perjalanan panjang menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia, berbagai cara, upaya, dan gagasan dilakukan. Dengan diawali dengan munculnya “golongan terdidik dan tercerahkan” hasil dari politik etis yang berhasil memberikan langkah perjuangan baru  bagi Bangsa Indonesia melalui organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang dikatakan sebagai historis moment oleh Surjomiharjo (1979) hingga kemudian memunculkan kelompok-kelompok asrama yang kemudian mendorong percepatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanpa menggunakan bantuan Jepang. Harus diakui bahwa sebenarnya pada masa pendudukan Jepang, Indonesia mengalami masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda menuju periode kemerdekaan (Frederick, 1986).

            Terlepas dari hal tersebut, terdapat banyak peranan, baik dari golongan tua yang lebih pengalaman dan terkesan hati-hati, seperti Soekarno dan Hatta, serta golongan muda yang cenderung bertindak cepat, seperti Chairul Saleh dan Wikana. Dalam proses selanjutnya, terjadi pertentangan antara golongan tua dan golongan muda ini, namun tetap bermuara pada satu tujuan, yaitu kemerdekaan. Berdasarkan studi literatur yang penulis lakukan, peran pemuda sangat sentral dalam mempercepat proses proklamasi kemerdekaan. Apabila saat ini, para pemuda cenderung melakukan physical distancing di rumah masing-masing dalam upaya menghidari terpapar Pandemi Covid-19, dahulu sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para pemuda juga melakukan physical distancing yang terkonsentrasi pada Asrama-Asrama dalam upaya menghindari terpapar pengaruh Fasisme Jepang yang justru mengurangi semangat Nasionalisme untuk memerdekakan Indonesia.

Peranan Pemuda sebelum Peristiwa Rengasdengklok

            Pada zaman Pendudukan Jepang, aktivitas para pemuda terkonsentrasi pada asrama yang sekaligus digunakan untuk memperoleh inspirasi dari tokoh nasional dalam mencapai kemerdekaan Indonesia (Poesponegoro, 2009: 130). Asrama-asrama tersebut antara lain adalah Asrama Angkatan Muda di Menteng 31, Asrama Prapatan 10, Asrama Baperpi di Cikini 71, Asrama Indonesia Merdeka di Bungur Besar 56, dan Asrama Perguruan Tinggi Islam di Kramat (Loebis, 1995: 80). Pada Asrama Menteng 31, terdapat tokoh-tokoh pemuda, antara lain Sukarni, Chairul Saleh, Ismail Wijaya, Asmara Hadi, S. K Trimurti, B. M Diah, Sayuti Melik, Nasrun, Sudiro, Sjarif Thajeb, dan A. M. Hanafi. Selain itu, setiap pertemuan atau diskusi tokoh-tokoh seperti Adam Malik, Harsono Tjokroaminoto, dan Anwar Tjokroaminoto juga terlibat aktif didalamnya (Martosewojo, 1984: 6). Para pemuda Asrama Menteng 31 ini mendapat pendidikan langsung dari tokoh-tokoh nasionalis, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifuddin, Mr. Sunardjo, Mr. Subardjo, Dr. Muwardi, Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara (Hanafi, 1997: 10). Dari Asrama Menteng 31 yang kini menjadi Gedung Joang 45 inilah nantinya muncul tokoh-tokoh pemuda yang sangat berperan dalam menentukan percepatan dan perumusan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

            Selain Asrama Menteng 31, terdapat pula Asrama Prapatan 10 yang merupakan asrama Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Asrama ini menjadi tempat tinggal dari mantan mahasiswa Geneeskundige Hoge School (GHS) dan Nederlands Indishe Artsen School (Martosewojo, 1984: 26-27). Dari Asrama Prapatan 10 ini terdapat tokoh-tokoh, seperti Soedjatmoko, Soedarpo, Soebianto dan Soeroto Kunto serta Lus Ratulangie (Poesponegoro, 2009: 131). Pada Asrama Perguruan Tinggi Islam yang lokasinya berdekatan dengan Asrama Prapatan 10, terdapat tokoh-tokoh pemuda seperti Bagdja Nitidiwirja, Nasuhi, Janamar Ardjam, dan Darsjaf Rachman, bahkan Soeroto Kunto dan Soebianto kemudian tinggal di asrama ini setelah dikeluarkan dari Ika Daigaku karena melakukan pemogokan (Loebis, 1995: 80). Asrama terakhir adalah Asrama Indonesia Merdeka di Bungur Besar 56. Asrama ini dipimpin oleh Ahmad Soebardjo (Poesponegoro, 2009: 131).

            Para pemuda di ketiga Asrama ini memiliki orientasi yang berbeda-beda, begitu pula dengan kelompok Sjahrir. Dari keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh pemuda, peran menonjol terlihat dari pemuda yang berasal dari Asrama Menteng 31. Hal ini terlihat dari peran sentral Chairul Saleh dan Sukarni dalam Kongres Pemuda seluruh Jawa yang diadakan pada tanggal 16-18 Mei 1945. Pertemuan yang berlangsung dengang prosesi menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa Kimigayo dan dikibarkannya bendera Merah Putih ini menghasilkan resolusi bahwa seluruh pemuda harus dipersatukan dalam satu pimpinan nasional dan pelaksanaan persiapan kemerdekaan Indonesia ditambah dengan bekerja sama dengan Jepang sebagai upaya mencapai kemerdekaan (Asia Raja, 1945). Kelompok menteng 31 ini pun orientasinya kemudian semakin radikal.

             Chairul Saleh dan Sukarni menolak resolusi tambahan tersebut sehingga pada tanggal 3 Juni 1945 mengadakan pertemuan rahasia. Setelah dibentuk panitia yang diketuai oleh B.M Diah, kelompok Menteng 31 ini kemudian melakukan pertemuan kembali pada tanggal 15 Juni 1945 dengan melahirkan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia (Soediro, 1972: 9-15). Kemudian pada tanggal 2 Juli 1945 diadakan suatu pertemuan yang menggagas berdirinya Gerakan Rakyat Baroe yang anggotanya terdiri dari orang Indonesia, Cina, Jepang, Arab, dan peranakan Eropa berdasarkan hasil sidang Chuo Sangi-in. Dalam gerakan tersebut, terdapat tokoh pemuda radikal yang mayoritas berasal dari kelompok Menteng 31, seperti Wikana, Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Sudiro, Supeno, dan Asmara Hadi (Poesponegoro, 2009: 133). Namun, kelompok Menteng 31 ini menolak hasil anggaran dasar yang tidak mencantumkan nama Republik Indonesia. Oleh karena itu, ketika peresmian Gerakan Rakyat Baroe ini pada tanggal 28 Juli 1945 yang menghadirkan organisasi Jawa Hokokai dan Masyumi, kelompok Menteng 31 ini menolak untuk menduduki kursi yang telah disediakan sebagai wujud protes (Poesponegoro, 2009: 133). Dari sinilah muncul benih-benih perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda terutama kelompok Menteng 31 mengenai cara mencapai kemerdekaan yang kemudian melahirkan peristiwa penting dalam sejarah sekitar proklamasi kemerdekaan, yaitu pengasingan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. 

Para Pemuda dan Hikmah di balik Peristiwa Rengasdengklok

            Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah mulai terasa. Hal ini pun disadari oleh kelompok Menteng 31 yang sikapnya semakin radikal. Surat kabar pun sudah memberitakan tanda-tanda tersebut seperti halnya surat kabar Asia Raya pada tanggal 9 Agustus 1945 (Kamis Pon, 9 Agoestoes 2605) dengan judul Moesoeh Menggoenakan Bom Baroe. Menanggapi berita ini, golongan muda terutama kelompok Menteng 31 semakin ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan secepatnya mendesak tokoh-tokoh dari golongan tua seperti Soekarno dan Hatta untuk dapat memproklamasikan kemerdekaan. Namun, sekembalinya Soekarno dan Hatta dari Vietnam pada tanggal 14 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta tetap pada pendiriannya, yaitu membicarakan mengenai kemerdekaan Indonesia saat sidang Dokuritsu Jumbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI) dengan pertimbangan bahwa Jepang sudah kalah sehingga dengan atau tanpa Jepang, kemerdekaan akan tetap terjadi.

Peristiwa Rengasdengklok yang berupaya menghindarkan Soekarno dan Hatta dari pengaruh Jepang, penyusunan teks Proklamasi, persiapan pelaksanaan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan penyebaran berita tentang Proklamasi.

Hal inilah yang tidak disukai oleh kelompok Menteng 31 sehingga  membuat perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda semakin meruncing. Ditambah lagi, Sukarni dan kelompoknya yang dinamakan Adam Malik sebagai “Gerombolan Sukarni” telah mengetahui berita menyerahnya Jepang melalui radio militer dan radio Domei. Untuk itu, pada saat Soekano dan Hatta mendarat di Kemayoran, kelompok Menteng 31 yang terdiri dari Asmara Hadi, Sayuti Melik, dan Chairul Saleh langsung memberitakan mengenai menyerahnya Jepang ini. Bung Karno yang baru turun dari pesawat mengatakan “Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap” (Malik, 1975: 29). Chairul Saleh mendesak dengan mengatakan “Tapi kami tidak mau kemerdekaan hadiah. Kami tidak mau janji-janji Jepang itu. Kemudian mereka serentak mendesak Soekarno “Proklamirkan kemerdekaan bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jendral Terauchi tentu tidak bilang itu pada Bung Karno” (Hanafi, 1997: 16). Dari pertemuan di lapangan terbang Kemayoran inilah lahir benih-benih untuk melakukan pengasingan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sisi lain, Sutan Sjahrir yang termasuk tokoh pertama yang mengetahui tentang kapitulasi Jepang kemudian mendesak Hatta dalam suatu pertemuan tanggal 15 Agustus 1945 (Poesponegoro, 2009: 137).

Ketegasan sikap Soekarno dan Hatta patut dimaklumi karena Soekarno dan Hatta yang mewakili golongan tua tidak menginginkan adanya pertumpahan darah tetapi berbeda dengan golongan pemuda yang menganggap pertumpahan darah sebagai risiko yang tidak bisa dihindari jika Jepang menganggap Proklamasi Kemerdekaan dalam posisi status quo dianggap sebagai pelanggaran (Yunarti, 2003: 38). Di lain pihak, Pada tanggal 15 Agustus 1945, kelompok Menteng 31 ini mengadakan rapat di Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan Timur, Jakarta. Turut hadir pada saat itu adalah Djohan Nur, Kusnandar, Subadio, Subiantoro, Margono, Wikana, dan Armansyah. Mereka menghendaki Proklamasi segera dilaksanakan. Kemerdekaan harus lepas dari pengaruh dan bayang-bayang Jepang. PPKI mereka anggap masih ada di bawah pengaruh Jepang. Mereka tidak mempercayai janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Merdeka atau mati, menjadi semboyan (Yunarti, 2003: 25).

Kemudian Wikana dan Darwis menyampaikan hasil rapat pada Bung Karno di rumahnya di jalan Pegangsaan Timur 56 sekaligus mengancam Bung Karno apabila tidak diumumkan Proklamasi besok pagi, maka akan terjadi pertumpahan darah. Ancaman ini dijawab Bung Karno dengan kemarahannya dengan mengatakan “Inilah leher saya, seret saya ke pojok dan sudahi nyawa saya, tak usah tunggu besok. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu akan saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok” (Kompas, 1995).

Pada Rabu malam itu juga, hasil pertemuan kaum pemuda dengan Bung Karno dilaporkan pada pertemuan Asrama Cikini 71. Rapat memutuskan,seperti diusulkan Djohan Nur, “Segera bertindak, Bung Karno dan Bung Hatta harus kita angkat dari rumah masing-masing.” Chairul Saleh yang memimpin rapat, menegaskannya sebagai keputusan rapat dengan berkata, “Bung Karno dan Bung Hatta kita angkat saja. Selamatkan mereka dari tangan Jepang dan laksanakan Proklamasi tanggal 16 agustus 1945”. Dari Asrama Cikini 71 inilah kemudian tercetus ide untuk mengasingkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok yang digagas oleh kelompok Menteng 31. Rencana ini dipercayakan kepada Shudancho Singgih dengan dukungan perlengkapan tentara dari Chudancho Latief Hendraningrat yang saat itu sedang menggantikan Daidancho Kasman Singodimedjo (Poesponegoro, 2009: 139).

Soekarno dan Hatta kemudian dibawa ke Rengasdengklok karena di sana ada Surjoputro, yang sudah pasti akan membantu perjuangan kemerdekaan. Di Rengasdengklok, Soekarno Hatta dibawa ke kantor PETA dan membahas penetapan waktu proklamasi. Sukarni mendesak Soekarno dan Hatta untuk menyatakan Proklamasi Kemerdekaan secepat-cepatnya karena situasi yang mendesak saat itu dan diuntungkannya Indonesia karena Jepang yang saat itu menguasai Indonesia, mengalami kekalahan oleh Sekutu akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan kata lain, Sukarni berkesimpulan bahwa terdapat Vacuum of Power (kekosongan kekuasaan) sehingga harus dimanfaatkan untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta masih ragu terhadap kepastian bahwa Jepang sudah kalah, namun Sukarni menegaskan kembali sambil menunjuk pasukan PETA yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan untuk tekad melindungi kemerdekaan rakyat. Namun, Soekarno dan Hatta yang sudah sehari penuh berada di Rengasdengklok tetap tidak mau atas desakan Sukarni untuk melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan yang terlepas dari kaitan Jepang. Sukarni pun segan untuk terus menekan Soekarno dan Hatta dikarenakan kewibawaan mereka. Proklamasi yang seyogyanya dilakukan pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 1945, tidak dapat dilaksanakan karena belum mendapat kabar dari Jakarta dan Jepang sehingga Sukarni memutuskan untuk menyuruh J. Kunto melapor dan merundingkannya dengan kelompok-kelompok yang ada di Jakarta.

Setibanya di Jakarta, J. Kunto hanya bertemu dengan kelompok Wikana dan Subardjo. Mereka lalu melakukan suatu perundingan mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Subardjo dari golongan tua dan Wikana mewakili kelompok Menteng 31 sekaligus mewakili golongan muda mencapai sebuah kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan dilaksanakan di Jakarta. Laksamana Tadashi Maeda memberikan kabar bahwa apabila Soekarno dan Hatta dikembalikan dengan selamat, maka Maeda dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli terhadap pernyataan kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadikan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi (Ricklefs, 2010: 444). Setelah tercapai kesepakatan itu, pada pukul 16.00 J. Kunto segera ke Rengasdengklok bersama Subardjo dan Sudiro untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Sekitar pukul 18.00, J. Kunto, Subardjo, dan Sudiro tiba di Rengasdengklok. Kemudian Subardjo, Sukarni, Soebeno, dan Sutardjo Kartohadikoesoemo langsung melakukan rapat. Dalam rapat itu, Subardjo berkata kepada Sukarni, “Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta. Sebab itu saya datang kemari untuk menjemput saudara-saudara kembali ke Jakarta” (Hatta, 1970: 49). Proklamasi sendiri dapat dilaksanakan selambat-lambatnyanya pukul 12.00 tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum Subardjo datang menjemput, Soekarno menyatakan kesediaannya mengadakan Proklamasi segera sesudah sampai di Jakarta dalam sebuah pembicaraan berdua antara Soekarno dengan Singgih.

Peranan Pemuda dalam Perumusan Teks Proklamasi hingga Proklamasi Kemerdekaan

            Sekembalinya Soekarno dan Hatta dari Rengasdengklok pada pukul 23.00, kelompok Menteng 31 ini kemudian bergegas melakukan persiapan menuju rumah Maeda. Soekarno dan Hatta kemudian sampai di rumah Maeda setelah  sebelumnya menemui Nishimura untuk menanyakan perihal status Indonesia mendapat jawaban yang kurang baik sehingga diputuskan bahwa kemerdekaan memang harus segera dilaksanakan tanpa menunggu bantuan Jepang. Rumah dinas Maeda ini sekarang menjadi Museum Perumusan Teks Proklamasi di Jalan Imam Bonjol nomor 1. Rumah Maeda dianggap aman karena kedudukan Maeda sebagai penghubung antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Soekarno dan Hatta setelah berbicara dengan Maeda kemudian pindah ke ruang tamu kecil bersama Subardjo, Sukarni dan Sayuti Melik. Maeda pun kemudian pamit menuju ke lantai dua rumahnya. Setelah itu, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo merumuskan naskah Proklamasi dengan ditulis langsung oleh Soekarno.

              Setelah naskah selesai ditulis, Soekarno kemudian membacakan naskah tersebut di hadapan tokoh-tokoh yang hadir dalam peristiwa perumusan teks tersebut. Lalu Soekarno meminta semua yang hadir untuk menandatangani naskah tersebut. Namun beberapa pemuda tidak setuju dan akhirnya Soekarni maju ke muka dengan suara yang lantang “Bukan kita semua yang hadir disini untuk menandatangani naskah itu, cukuplah dua orang saja yang menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta”. Naskah kemudian diketik oleh Sayuti Melik dengan beberapa perubahan.

Setelah berhasil merumuskan teks proklamasi, seluruh anggota PPKI dan para pemuda pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang, mereka sepakat bahwa pembacaan teks proklamasi akan dilaksanakan di rumah Soekarno yang saat ini menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan Jalan Proklamasi nomor 1. Hatta pun berpesan pada B.M Diah untuk menyebarkan teks proklamasi. Segera setelah itu, kelompok Menteng 31 yang dikomandoi oleh Sukarni melakukan rapat di Kemayoran untuk mengatur penyiaran berita Proklamasi. Mereka pun mengerahkan semua alat komunikasi, baik kurir, pamphlet, alat pengeras suara, bahkan mobil-mobil ke penjuru kota demi tersebarnya berita proklamasi. Pasca proklamasi, kantor berita Domei yang awalnya dijadikan sebagai pemancar berita disegel oleh Jepang. Namun, kelompok Menteng 31 ini tidak kehilangan akal. Dengan bantuan teknisi radio, Sukarman, Sutamto, Susilahrdja dan Suhandar kemudian membuat pemancar yang alat-alatnya diambil bagian demi bagian dari Kantor Berita Domei. Dengan demikian, terciptalah radio pemancar baru di Menteng 31 dengan kode panggilan DJK 1 berkat peran dari kelompok Menteng 31 ini.

            Pada akhirnya, generasi muda merupakan generasi emas suatu bangsa. Hal ini merupakan ungkapan logis jika merunut pada sejarah panjang bangsa Indonesia hingga tercapainya Proklamasi Kemerdekaan. Para pemuda yang berasal dari Menteng 31 ini membuktikan bahwa mereka adalah Agent of Change. Chairul Saleh dan Wikana dengan kegigihannya mampu mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berawal berbagai Asrama, mereka berkembang sebagai generasi terdidik dan tercerahkan yang menentukan nasib dan kedudukan bangsanya. B.M Diah, Adam Malik, Sukarni, J. Kunto, A. M. Hanfi, hingga Sayuti Melik mampu mengambil tanggung jawab dan menjalankan peran yang diamanahkan kepada mereka, bukan sekedar menerima pelajaran dari tokoh nasionalis melainkan mampu mengimplementasikan demi kemajuan bangsa.

            Peristiwa Rengasdengklok menyimpan hikmah tersendiri bahwa sesulit apapun kondisi, setajam apapun perbedaan pendapat, dan setinggi apapun ego diri pribadi yang dimiliki, terdapat suatu kompromi, kerendahan hati, dan kesatuan nasional demi membebaskan bangsa dari campur tangan Jepang dan belenggu Fasisme. Sebuah konsekuensi logis dari pernyataan persamaan pendapat antara Wikana dengan Soebardjo yang melahirkan kesepakatan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.

            Saat perumusan teks Proklamasi kemerdekaan hingga pasca dibacakannya proklamasi, para pemuda ini pun memiliki peran yang signifikan. Sayuti Melik merupakan pengetik naskah proklamasi, B.M Diah merupakan penyebar berita mengenai proklamasi, dan Sukarni merupakan pemegang komando dalam penyebaran informasi mengenai kemerdekaan Indonesia. Asrama yang menjadi pusat konsentrasi kegiatan pemuda sekali lago memegang peranan penting, yakni Asrama Menteng 31 yang kemudian dijadikan sebagai pemancar berita Proklamasi setelah Kantor Berita Domei disegel oleh Jepang. Kini, Asrama Menteng 31 menjadi Museum Gedong Joang 45. Keterbatasan akses dan mobilitas pada masa penjajahan Jepang tidak menjadi halangan bagi mereka untuk memerdekakan bangsanya. Pun demikian dengan kita, keterbatasan mobilitas akibat Pandemi Covid-19 seharusnya bukan menjad halangan untuk mengisi kemerdekaan. Dengan demikian, sudah selayaknya generasi muda menjadikan golongan muda angkatan 45 sebagai contoh dalam perjuangan mengisi kemerdekaan karena sesungguhnya kemerdekaan yang kita rasakan saat ini merupakan buah kerja keras mereka. 

Selengkapnya
Sembari Dinas

Malari di Pusaran Isu Kudeta dan Tuntutan Kemandirian Ekonomi

Berawal dari kritik mahasiswa terhadap pemerintah yang membuka pintu untuk modal asing kemudian berubah menjadi penolakan terhadap kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka hingga terjadi huru-hara di Jakarta dan berakhir dengan tindakan represif pemerintah terhadap organisasi masyarakat maupun organisasi mahasiswa.

Siang ini mendung menyelimuti kawasan Proyek Senen, Jakarta Pusat. Persimpangan kawasan tersebut kini semakin estetik dan instagramable pasca direnovasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dilengkapi dengan lintas bawah (underpass). Perlahan kemacetan dan keruwetan kawasan Senen yang telah menjadi pemandangan sehari-hari di salah satu pusat kegiatan perekonomian di Jakarta tersebut mulai terurai. Bila hari ini lalu lalang Bus Transjakarta dan dinamika kegiatan masyarakat pada masa pandemi Covid-19 menjadi pemandangan di kawasan Proyek Senen, beda halnya dengan pemandangan Proyek Senen 47 tahun yang lalu. Pada Selasa, 15 Januari 1974, kawasan yang dibangun dengan anggaran milyaran rupiah ini menjadi saksi bisu terjadinya peristiwa huru-hara, penjarahan, dan pembakaran produk-produk made in Japan.

Kondisi mencekam yang terjadi di Jakarta merupakan bentuk protes terhadap kunjungan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka pada 14 Januari 1974 hingga 17 Januari 1974. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (Malari). Sejatinya Malari merupakan puncak gunung es akibat ketidakpuasan rakyat yang diwakili oleh mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang membuka pintu lebar bagi masuknya modal asing. Malari juga disinyalir menjadi puncak persaingan antara orang terdekat dipusaran kekuasaan Presiden Soeharto, yaitu Ali Moertopo dan Jendral Soemitro.

Pasca jatuhnya Presiden Soekarno dan pemerintahan Orde Lama, Presiden Soeharto yang membawa gerbong pemerintahan Orde Baru mewarisi hutang dan inflasi yang sangat besar. Pemerintah kemudian mengambil langkah taktis dengan membuka masuknya investasi asing yang sebelumnya ditutup rapat oleh pemerintah Orde Lama. Mulai dari Adam Malik hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX berupaya mempromosikan Indonesia di luar negeri. Presiden Soeharto pun berupaya melakukan perdamaian dengan Malaysia dan bergabung kembali menjadi anggota PBB.

Fokus utama pemulihan perekonomian diupayakan melalui perdamaian dengan negara sekitar dan memelihara stabilitas keamanan. Fundamental ekonomi menjadi perhatian, terutama bagi Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, dan kawan-kawan yang disebut dengan istilah Mafia Berkley. Pundi-pundi investasi mulai mengalir deras ke Indonesia berkat para ekonom handal tersebut. Perlahan perekonomian Indonesia kembali berdenyut dan mengalami pertumbuhan.

Memasuki tahun 1970, pemerintah mulai percaya diri terhadap pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan dan upaya Indonesianisasi terhadap aset maupun modal asing sehingga gap antara si kaya dan si miskin tetap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Denyut perekonomian yang cenderung mengarah pada kapitalisme memicu timbulnya persaingan terutama di pusaran pemerintahan. Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro menjadi dua tokoh yang disinyalir terlibat persaingan sengit guna menjadi orang terdekat Presiden Soeharto. Sejalan dengan hal tersebut, korupsi juga tumbuh subur.

“Bangsa kita sudah menjadi kapitalis besar yang mengejar keuntungan dan pertumbuhan tanpa melihat aspek sosial. Kita hanya bicara soal pasar seakan pasar bisa mendistribusikan kekayaan,” ungkap Hariman Siregar. Kegamangan terhadap pemerintahan mulai dirasakan tidak hanya oleh Hariman Siregar, melainkan pula oleh J.C. Poncke Princen, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, termasuk oleh para mahasiswa untuk melayangkan kritik.

Adanya asisten pribadi presiden disinyalir memicu munculnya persaingan tidak sehat di lingkungan terdekat presiden. Tidak hanya itu, korupsi dan harga yang melambung tinggi menjadi fokus perhatian para pengkritik pemerintah. Sebenarnya aliran investasi asing yang masuk ke Indonesia belum besar jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura pada periode tersebut. Namun, pemerataan yang tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat membuat munculnya protes. Isu-isu tersebut tidak hanya pada tatanan akar rumput melainkan sudah sampai ke permukaan, bahkan ke telinga presiden Soeharto. Akan tetapi, aliran investasi asing tetap masuk ke Indonesia, seakan tidak peduli dengan gelombang kritik dan protes yang digawangi oleh mahasiswa.

Sebagai kekuatan ekonomi baru pasca perang dunia II, Jepang mulai mengembangkan perekonomian dan berupaya menanamkan investasi melalui perusahaan-perusahaan multinasionalnya. Indonesia menjadi salah satu bidikan Jepang guna menanamkan investasi. Gayung pun bersambut, Indonesia yang sangat mengincar pertumbuhan menerima keinginan Jepang untuk mengembangkan bisnis di Indonesia. Wujud nyata upaya tersebut adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Jakarta guna membahas kerjasama.

Beberapa hari sebelum peristiwa Malari tepatnya pada 11 Januari 1974, mahasiswa yang dikomandoi oleh Hariman Siregar menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta. Para mahasiswa kemudian menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang dikenal dengan Tritura Baru, yaitu Bubarkan Asisten Pribadi Presiden, Turunkan Harga, dan Ganyang Korupsi. Tuntutan ini kemudian menjadi pintu gerbang aksi-aksi protes yang lebih keras terhadap pemerintah yang diwujudkan melalui diskusi hingga long-march.

Diskusi yang lebih sistematis kemudian dilakukan di Kampus Trisakti pada 15 Januari tersebut. Kemudian mahasiswa menuju kampus UI Salemba. Di lain pihak, beberapa kelompok mahasiswa berupaya mencegah iring-iringan Perdana Menteri Tanaka di Halim. Namun, upaya tersebut digagalkan oleh tentara yang berjaga di kawasan Bandara Halim Perdana Kusuma. Kelompok ormas dan mahasiswa kemudian melakukan aksi long-march sebagai bentuk protes terhadap kedatangan Perdana Menteri Negara Matahari Terbit tersebut.

Unjuk rasa kemudian berubah menjadi huru-hara dan penjarahan. Kawasan Proyek Senen menjadi sasaran penjarahan. Bahkan proyek yang dibangun dengan biaya milyaran rupiah ini dibakar sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tetap membuka kran investasi asing. Pada Selasa kelabu tersebut, sebanyak 807 kendaraan buatan Jepang ludes dilalap si jago merah, 11 orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 144 bangunan rusak berat, dan sekitar 160 kg emas hilang dari toko perhiasan.

Pasca peristiwa Malari ini, investasi Jepang tetap mengalir ke Indonesia. Upaya pertumbuhan tetap menjadi fokus utama bagi pemerintah. Di sisi lain, pemerintah menganggap peristiwa Malari sebagai upaya mengkudeta kedudukan Presiden Soeharto sehingga pengkritik yang dikenal lantang menyuarakan aspirasi diganjar dengan hukuman penjara, seperti  Hariman Siregar, J.C. Poncke Princen, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Adnan Buyung Nasution. Sekitar 775 aktivis pun merasakan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, dua kubu yang bertikai, yaitu Jendral Soemitro dan Ali Moertopo kemudian dipinggirkan dari lingkungan terdekat Presiden Soeharto.

Pemerintah pun kemudian mulai mencanangkan Nasionalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) guna meredam politik hingga kritik yang berasal dari kampus maupun akademisi. Tindakan-tindakan represif tersebut kemudian membungkam upaya kritik terhadap pemerintah yang di kemudian hari justru menjadi bumerang bagi pemerintah Orde Baru. Sekali lagi peristiwa sejarah memberikan cerminan bahwa investasi asing perlu dibarengi dengan upaya alih daya, alih modal, dan Indonesianisasi sehingga pemerataan ekonomi dapat diwujudkan, tidak hanya semata berpijak pada upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Selain itu, peristiwa ini juga mengajarkan kita semua bahwa upaya menutup kritik justru memicu pada dua hal, yaitu antipati rakyat dan degradasi kepercayaan terhadap pemerintah.

Selengkapnya
Sembari Dinas

Kala Industri Gula Tak Semanis Rasanya

Dalam dua bulan terakhir, pembelian gula pada pusat perbelanjaan dibatasi. Harganya pun melambung jauh. Hal tersebut jelas mencekik pengusaha makanan dan minuman yang kini tengah berjuang untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19. Padahal Indonesia, khususnya Pulau Jawa memiliki Industri Gula yang secara kuantitas cukup banyak dan secara kualitas cukup baik. Goresan tinta sejarah pernah mencatat betapa manisnya Industri Gula di Nusantara yang termasyur hingga ke Eropa. Lalu, apakah kejadian di masa lalu mengenai Industri Gula masih relevan dengan konteks kekinian?

Hampir 2 abad, tepatnya 190 tahun tanam paksa yang disebut oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai budaya menanam atau Cultuurstelsel diterapkan di wilayah Nusantara. Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman yang wajib ditanam oleh petani saat masa tanam paksa tersebut. Hal ini membuat industri tebu pernah termasyur di seantero Hindia Belanda, bahkan di dunia pada abad 19 dan abad 20. Perkembangan industri berbasis tebu yang dikenal dengan Suiker-industrie di Jawa, terutama di Pasuruan tidak lepas dari semakin intensifnya penetrasi kekuasaan kolonial di Hindia Belanda pada abad 19 dan abad 20.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan perkebunan sehingga perkembangan perkebunan ala Eropa memiliki andil dalam memperluas perekonomian. Industri tebu sendiri memiliki lembaga penelitian khusus yang berdiri sejak tahun 1887 bernama Proefstation Oost-Java di Pasuruan. Masa lalu industri gula di Pasuruan yang terasa manis membuat penulis tertarik untuk menggunakan pendekatan sejarah dalam menganalisis peran industri berbasis tebu dalam perekonomian dan percepatan pertubuhan ekonomi dengan mengacu pada tulisan G.R. Knight berjudul “Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-19 : Studi dari Karesidenan Pekalongan 1830-1870”.

Tanaman tebu merupakan tanaman jenis rumput-rumputan yang tumbuh di tanah irigasi seperti halnya padi. Oleh karena itu, penggunaan lahannya pun bergantian dengan tanaman padi. Tanaman ini membutuhkan waktu yang lama untuk satu kali panen, yaitu hampir 1 tahun. Dalam menanam tebu merujuk pada konteks abad ke 19, petani membutuhkan lahan yang luas dan digarap bersama-sama oleh penduduk desa. Oleh karenanya, petani harus menempuh jarak yang jauh ke kebun. Budidaya tanaman tebu juga melewati proses yang sangat beragam, mulai dari menanan, memanen hingga memprosesnya di pabrik.

Budidaya tebu di Pulau Jawa sebenarnya sudah ada sebelum dikukuhkannya Cultuurstelsel pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, tetapi keberadaannya masih sangat terbatas. Budidaya tanaman yang dikenal dengan sebutan Sugar Cane ini hanya dilakukan di perkebunan-perkebunan milik orang Tionghoa dan Belanda di sekitar Batavia dan Pasuruan, Jawa Timur. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu tahun 1860, banyak bermunculan pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa yang padat penduduknya, sehingga pabrik-pabrik gula menjadi pemandangan yang mendominasi di wilayah-wilayah pedesaan. Tercatat terdapat seratus buah pabrik milik orang Eropa, yang dijalankan dengan tenaga kincir air atau dengan tenaga uap yang diimpor dari Belanda atau Inggris.

Pabrik-pabrik gula tersebut bergantung pada pasokan tebu dari wilayah Pasuruan, Semarang, dan Tegal. Tebu ditanam oleh lebih dari seratus ribu keluarga petani yang menggarap lahan sekitar 12.000 hektar.  Banyaknya jumlah perkebunan tebu, mengakibatkan pabrik-pabrik gula mampu menghasilkan lebih dari 130.000 ton gula per tahunnya. Jumlah yang sangat banyak untuk ukuran pada masa itu. Perlu diketahui bahwa tebu yang dihasilkan oleh para petani adalah tebu kualitas tinggi, sehingga menghasilkan gula yang juga berkualitas baik. Hal ini yang membuat sistem tanam paksa tebu berjalan dengan sukses. Dengan kata lain, perekonomian mengalami peningkatan signifikan dengan indikator meningkatnya produksi tebu dengan kualitas tinggi dan meningkatnya hasil penjualan tebu.

Saat itu, tebu yang dihasilkan merupakan tebu dengan kualitas tinggi dan didukung oleh bibit berkualitas baik serta pengolahan yang cakap. Kesuksesan dalam budidaya tebu ini mengindikasikan keberhasilan penguasa lokal dan kolonial saat itu untuk memengaruhi, membujuk, atau bahkan memaksa petani untuk menghasilkan tebu dengan kualitas yang tinggi. Selain itu, menurut Fasseur, Van Niel, dan Elson, beberapa hal yang menjadi alasan budidaya tebu menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi kolonial pada abad 19 di Hindia Belanda, yaitu:

  1. Menggunakan jalur wewenang tradisional (priyayi dan kepala desa) di wilayah pedesaan untuk memengaruhi, membujuk, atau bahkan memaksa para petani,
  2. Membayar petani produsen secara teratur dan tunai sesuai hasil produksi pabrik,
  3. Memanfaatkan kepasrahan petani untuk menghasilkan tebu sebagai upaya mengabdi pada pemerintah.

Berdasarkan tiga alasan tersebut, upah menjadi alasan utama tercapainya kesuksesan budidaya tanaman tebu di Pasuruan. Sebelum tahun 1867, petani hanya menggarap tanah dan menanam tebu hanya untuk menyelesaikan kewajibannya saja. Namun, pasca tahun 1867, pemerintah Keresidenan Pasuruan mengeluarkan kebijakan mengenai upah harian bagi petani dan upah bagi pengawas lahan pertanian serta pejabat lokal. Pada masa itu, upah menanam disebut sebagai plantloon dan upah bagi pengawas dan pejabat lokal disebut sebagai cultuurprocenten. Upah menjadi perangsangan yang realistis bagi para petani untuk menggarap. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas H. Stone yang menyebut upah atau kompensasi sebagai bentuk bayaran yang diberikan pada pekerja sebagai pertukaran pekerjaan yang diberikan kepada majikan.

Jika ditarik garis lurus, penerapan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap pengelolaan budidaya tebu hingga menghasilkan tebu dengan kualitas tinggi yang laku di pasaran dapat diadopsi untuk masa sekarang. Otonomi daerah yang menstimulasi pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri termasuk dengan hasil alamnya merupakan langkah awal untuk menjalankan program industri berbasis tebu. Pemerintah Daerah pun telah memiliki peraturan terkait dengan tanaman tebu, seperti Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 87 tahun 2014 tentang Peningkatan Rendemen dan Hamblur Tanaman Tebu. Semua hal terkait dengan budidaya tanaman tebu hingga urusan yang terkait petani juga dimuat dalam peraturan tersebut.

Wewenang pemerintah daerah sudah jelas, tinggal penerapannya saja. Untuk itu, perlu diterapkan stimulus seperti yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada penguasa lokal. Pemerintah pusat seharusnya memberikan semacam penghargaan ataupun upah finansial maupun non-finansial pada pemerintah daerah layaknya cultuurprocenten pada masa Hindia Belanda. Hal ini diyakini dapat menstimulus pemerintah daerah untuk berlomba-lomba menghasilkan tebu dengan kualitas terbaik yang laku di pasaran lokal maupun internasional. Bagi petani, pemberian upah yang layak seperti plantloon pada masa Hindia Belanda, pengenalan teknologi budidaya tebu, dan pemberian alat-alat yang mendukung budidaya tebu oleh pemerintah diyakini mampu menstimulus petani untuk memproduksi tanaman tebu dengan kualitas tinggi.

Setelah menghasilkan tanaman tebu dengan kualitas tinggi, pemerintah daerah dan pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian masih memiliki pekerjaan rumah, yakni perluasan pangsa pasar gula. Untuk itu, pemerintah harus menggerakkan penggunaan gula lokal untuk seluruh kegiatan industri makanan dan minuman yang ada di dalam negeri. Penetapan ceiling price, yaitu penetapan harga gula tertinggi di bawah harga pasar oleh pemerintah perlu diterapkan untuk merangsang daya beli industri makanan dan minuman. Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga menetapkan floor price, yaitu penetapan harga gula terendah di atas harga pasar dengan tujuan melindungi produsen, terutama petani tebu. Tidak hanya itu, pemerintah daerah perlu mengawasi dan turun langsung ke pasar untuk mengurangi campur tangan tengkulak atau oknum-oknum tertentu dalam membentuk permintaan palsu (fake demand).

Pemerintah Hindia Belanda pernah mencontohkan bagaimana perluasan pangsa pasar dan promosi tanaman tebu melalui surat kabar di Eropa saat itu. Tidak hanya itu, pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan Koloniale Tentoonstelling di Amsterdam pada tahun 1883 dan di Semarang pada tahun 1914, sebuah event berkaliber World Expo untuk mempromosikan produk-produk dari tanah jajahan, termasuk produk tebu berkualitas tinggi dari Pasuruan. Dengan mewabahnya penggunaan media sosial, pemerintah memiliki wadah untuk mempromosikan tanaman tebu. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah  rutin mengadakan Trade Expo Indonesia. Melalui event ini, seharusnya pemerintah berupaya memperluas pangsa pasar agar tanaman tebu dan gula dapat merambah pangsa pasar internasional seperti 190 tahun yang lalu.

Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi berbasis industri tebu membutuhkan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha makanan dan minuman, hingga petani tebu. Hal ini jelas mendeskripsikan bahwa industri berbasis tebu membutuhkan penanganan dari hulu hingga hilir. Dalam tulisannya, G. R. Knight memang hanya menyebut keuntungan dari industri berbasis tebu hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial dan pemerintah lokal. Namun demikian, berkaca pada kesuksesan budidaya tanaman tebu di Pasuruan dengan adaptasi sesuai dengan konteks kekinian dan ditunjang dengan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin industri ini akan mampu memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional mengingat potensi tebu yang dimiliki oleh Pulau Jawa secara khusus serta pangsa pasar yang semakin luas. Selain itu, opsi impor yang selama ini menjadi jalan tengah dalam menjaga ketersediaan gula dapat dikesampingkan mengingat manisnya potensi gula yang kita miliki.

Selengkapnya