Seperti kutipan dari Pramodya Ananta Toer, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Namun, jauh sebelum tulisan-tulisan Pram menggetarkan dunia, seorang perempuan muda yang lahir di Jepara, telah mengabadikan kegelisahannya melalui goresan pena yang akan menjadi tonggak lahirnya kesetaraan kaum pribumi.

Kartini, seorang putri dari golongan priyayi yang dididik dan dibesarkan dengan peraturan agama dan adat yang ketat. Namun jika dibandingkan dengan perempuan lain pada masa itu, ia sangat beruntung karena dapat mengenyam pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) dimana ia mulai membentuk konstruksi berpikir kritis ala Eropa yang pada saat itu menjadi kiblat ilmu pengetahuan di penjuru semesta.

Sayangnya, perempuan muda itu harus tunduk pada kurungan adat bernama tradisi pingitan sejak usia 12 tahun, persis seperti yang diceritakan oleh bapak/ibu guru di bangku sekolah bahwa perempuan pada zaman itu harus menikah pada usia belia untuk menjalankan misi reproduksi serta menjalankan tugas domestik sebagai kanca wingking. Kanca wingking (teman di belakang), itulah istilah yang disematkan pada perempuan di era Kartini. Mengapa kanca wingking? Karena urusan perempuan di zaman itu hanya seputar sumur, dapur, dan kasur (yang letaknya di belakang). Oleh karena itu, perempuan yang keluar rumah untuk berkarir atau mengenyam pendidikan tinggi dianggap melanggar norma sosial sebab dianggap tidak lazim. Kepatuhan perempuan juga tercermin dalam ungkapan suarga nunut, neraka katut yang berarti entah di surga ataupun neraka, perempuan akan selalu ikut.

Tentu saja perempuan muda yang mendapatkan pendidikan ala barat, konsep emansifatie. menjadi dasar pemikirannya untuk menjadi pribadi yang merdeka. Saat ini popularitas Kartini direfleksikan dalam bentuk perayaan setiap tanggal 21 April dimana anak-anak mengenakan berbagai macam kostum, mulai dari pakaian adat hingga profesi tertentu. Tentu saja hal ini perlu diapresiasi sebagai momen untuk mengenang perjuangan seorang perempuan pro kesetaraan gender di era kolonialisme. Namun, sudahkah Anda mewariskan nilai-nilai perjuangan Kartini yang sebenarnya? Sudahkah Anda memahami kritik sosial yang disematkan Kartini dalam tulisan-tulisannya? Karena akhir-akhir ini, banyak yang meragukan perjuangan Kartini sebagai pahlawan emansipasi, bahkan ada yang membuat komparasi antara Kartini dan tokoh pejuang perempuan lainnya.

Mengapa Kartini begitu istimewa?

Di mata penulis, Kartini adalah seorang pemikir yang kritis. Gagasan-gagasan radikalnya tentang isu sosial sungguh telah melampaui pemikiran orang-orang pada zamannya, sehingga dengan berani ia menulis dan berdiskusi dalam bentuk korespondensi. Kepada Nona Estella Zeehandelaar, Kartini mendeskripsikan bagaimana gadis-gadis Jawa terbelenggu oleh adat-istiadat yang mengharuskan mereka untuk tunduk kepada abang, saudara laki-laki, dan ayah serta bagaimana perempuan Jawa dikondisikan untuk tidak boleh berkehendak selain untuk menikah dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Kartini menuliskan keresahannya agar dapat mengubah budaya patriarki garis keras menjadi relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki

Diceritakannya pula kepada Nona Estella Zeehandelaar tentang kerisauan terhadap kondisi sosial masyarakat Jawa pada masa itu yang dimabuk opium (candu) yang menurutnya lebih jahat daripada mabuk alkohol karena candu adalah akar dari sekian banyak tindak kriminal kala itu. Selanjutnya ia mencurahkan kekhawatirannya pada pendidikan kaum pribumi, terutama kaum perempuan. Tidak banyak perempuan yang bisa membaca dan menulis, bahkan Sebagian kecil perempuan berpendidikan sepertinya yang mampu berbahasa Belanda, dianggap telah melampaui batas. Pada saat itu Kartini percaya bahwa mempelajari berbagai bahasa (seperti Bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman) merupakan kunci untuk menguasai ilmu pengetahuan. Sayangnya, Kartini tidak bisa mengakses pelajaran multi-bahasa ini, karena ia dikurung oleh adat yang membelenggunya pasca lulus dari ELS. Walaupun keinginannya begitu menggebu untuk melanjutkan pendidikan menengah ke HBS (Hoogere Burgerschool), lagi-lagi ia harus mengurungkan niat tersebut karena ditentang oleh ayahnya, sebab tidak lazim bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi kala itu. Namun Kartini adalah Kartini, ia tak gentar dalam melaksanakan misi belajarnya dengan terus membaca buku-buku yang dibawa oleh kakaknya (R.M Sosrokartono) yang bersekolah di HBS.

Kepada Nona Estella Zeehandelaar pula ia menyampaikan pemikiran kritis terhadap agama yang dianutnya. Menurut Kartini, agama seharusnya menjadi rahmat untuk segala makhluk yang ada di dunia, namun yang ia lihat pada saat itu adalah manusia-manusia yang mengaku beragama tetapi menyakiti sesamanya. Menurut Kartini, berhati dan berperilaku baik adalah cerminan umat beragama yang paling esensial. Ia menyayangkan bagaimana pernikahan digunakan sebagai alat untuk menindas perempuan. Selanjutnya, ia melihat bagaimana perempuan harus bersaing satu sama lain ketika seorang suami membawa perempuan lain ke rumah. Sekalipun dalam agamanya memperbolehkan beristri lebih dari seorang, namun menurut Kartini, hal tersebut akan menyakiti istri yang lain. Bukan hanya relasi pernikahan yang dikritisi oleh Kartini, namun juga perkara kitab suci. Pada saat itu, kitab sucinya tidak diperkenankan untuk diterjemahkan dalam Bahasa Melayu. Kartini percaya bahwa untuk mengenal dan mengamalkan ajaran agama, seseorang harus memahami isi kitabnya terlebih dahulu, bukan hanya membaca dan menghafalkannya. Jika kitab saja tidak dapat dipahami maknanya, maka akan terjadi mispersepsi, seperti yang terjadi pada lingkungan sosialnya pada saat ini.

“Sekalipun tiada menjadi orang saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati bukan, Stella? Dan ‘hati baik’ itulah yang utama. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!” Ucap Kartini di penghujung suratnya.

Walaupun Kartini begitu memuja Eropa sebagai pusat peradaban dunia, ia juga menyampaikan kritiknya terhadap sikap orang-orang Eropa terhadap kaumnya. Ia menyayangkan sikap kaum kulit putih yang ingin disanjung dan gila penghormatan, seperti Raja-Raja Jawa yang harus dipuja oleh golongan yang dianggap lebih rendah. Kartini dengan berani menuliskan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh bangsa Eropa yang adigung adiguna, sebenarnya sama saja dengan kaum feodal Jawa yang haus penghormatan. Selain itu, Kartini juga mempertanyakan sikap bangsawan Eropa yang mencemooh kebodohan kaum bumiputera, namun sifat mereka berubah mengancam jika para bumiputera terlihat memajukan diri.

“Dan apabila perjuangan orang laki-laki sudah sengit, maka akan bangkitlah pihak perempuan. Berbahagialah kami, beruntung hidup di masa ini! Masa perubahan, masa kuno berdalih menjadi masa baru!” Tulis Kartini di paragraf ke-sekian.

Disini sangat terlihat bahwa Kartini adalah perintis kaum pemuja kesetaraan pada eranya, mengingatkan penulis pada tokoh fiktif bernama Minke. Pemuda berpendidikan yang tergila-gila pada kemajuan bangsa Eropa lalu mencaci adat-budaya kaumnya yang kolot, namun tak lama kemudian balik memaki Eropa yang tak beradab. Namun perbedaannya, Minke adalah laki-laki yang bisa mengakses pendidikan tinggi hingga ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) pasca kelulusannya dari HBS. Tulisan-tulisannya dimuat dalam surat kabar, keluh kesahnya dapat didengar oleh khalayak, dan lagi, ia memiliki mentor seorang perempuan cerdas dan berdaya bernama Nyai Ontosoroh. Sedangkan Kartini? Melanjutkan pendidikan tinggi pun dilarang, ia menulis dalam kecemasan dibalik tembok raksasa yang mengurungnya serta belenggu pingitan di kakinya. Mentornya adalah surat kabar langganan ayahnya serta buku-buku yang dibawa oleh kakaknya. Namun ia tidak berhenti untuk terus belajar dan mencurahkan cita-cita radikalnya pada secarik kertas yang dikirim pada beberapa sahabatnya, agar dunia tahu bahwa di salah satu bagian kecil dari sebuah negeri yang terjajah, ada seorang perempuan bernama Kartini yang terus melawan dengan sarkasme yang ia tuangkan dalam tulisan untuk melawan konstruksi sosial yang merantai kebebasannya.

Kartini mati muda, meninggalkan cita-citanya untuk bersekolah di Eropa. Ia mewariskan sekolah untuk kaum perempuan yang dirintisnya di pendopo kabupaten. Ia juga meninggalkan seorang bayi mungil yang belum sempat ia jejali dengan doktrin-doktrin perjuangan. Mungkin Kartini memang ditakdirkan untuk membuka jalan, sedangkan kita adalah lokomotif perjuangan kesetaraan yang ia usahakan sedari dulu. Kartini hanya ingin menjadi manusia bebas yang merdeka. Ia memang tidak berjuang dengan cara mengangkat senjata, namun gagasan tertulisnya merupakan pelopor perjuangan kaum pribumi untuk menjadi bangsa yang merdeka. Faktanya, pemikiran radikal seorang perempuan muda telah menandai fase awal pergerakan nasional yang sering luput dari perhatian kita bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak melulu soal senapan, bambu runcing, dan perang gerilya. Kartini juga dapat disebut sebagai konseptor sebuah perubahan, sekolah rintisannya turut menandai perkembangan politik etis di Hindia, bahwa kaum pribumi khususnya perempuan layak untuk mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki.

Padamu Kartini,

Engkau bara yang menyala di tengah gulita

Pembuka jalan pergerakan insan merdeka

Yang fana adalah waktu,

Namamu abadi

DAFTAR PUSTAKA

  1. Marihandono, Djoko dkk. (2016). Sisi Lain Kartini.  Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
  2. R.A Kartini. (Cet.27. 2009). Habis Gelap Terbitlah Terang. (Armijn Pane, Terjemahan). Jakarta: Balai Pustaka