Uncategorized

Hati Merdeka Para Pemuda

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan suatu titik puncak dari  perjalanan panjang dalam rekam jejak sejarah bangsa Indonesia yang diwarnai oleh perjuangan fisik atau non fisik dan sporadis maupun terorganisir dengan mengorbankan moril maupun materil. Proklamasi kemerdekaan Indonesia memiliki arti penting karena dengan proklamasi, Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat serta terbebas dari belenggu penjajajah. Bagi generasi selanjutnya, arti penting proklamasi dapat dirasakan, bahkan hingga saat ini.

            Dalam perjalanan panjang menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia, berbagai cara, upaya, dan gagasan dilakukan. Dengan diawali dengan munculnya “golongan terdidik dan tercerahkan” hasil dari politik etis yang berhasil memberikan langkah perjuangan baru  bagi Bangsa Indonesia melalui organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang dikatakan sebagai historis moment oleh Surjomiharjo (1979) hingga kemudian memunculkan kelompok-kelompok asrama yang kemudian mendorong percepatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanpa menggunakan bantuan Jepang. Harus diakui bahwa sebenarnya pada masa pendudukan Jepang, Indonesia mengalami masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda menuju periode kemerdekaan (Frederick, 1986).

            Terlepas dari hal tersebut, terdapat banyak peranan, baik dari golongan tua yang lebih pengalaman dan terkesan hati-hati, seperti Soekarno dan Hatta, serta golongan muda yang cenderung bertindak cepat, seperti Chairul Saleh dan Wikana. Dalam proses selanjutnya, terjadi pertentangan antara golongan tua dan golongan muda ini, namun tetap bermuara pada satu tujuan, yaitu kemerdekaan. Berdasarkan studi literatur yang penulis lakukan, peran pemuda sangat sentral dalam mempercepat proses proklamasi kemerdekaan. Apabila saat ini, para pemuda cenderung melakukan physical distancing di rumah masing-masing dalam upaya menghidari terpapar Pandemi Covid-19, dahulu sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para pemuda juga melakukan physical distancing yang terkonsentrasi pada Asrama-Asrama dalam upaya menghindari terpapar pengaruh Fasisme Jepang yang justru mengurangi semangat Nasionalisme untuk memerdekakan Indonesia.

Peranan Pemuda sebelum Peristiwa Rengasdengklok

            Pada zaman Pendudukan Jepang, aktivitas para pemuda terkonsentrasi pada asrama yang sekaligus digunakan untuk memperoleh inspirasi dari tokoh nasional dalam mencapai kemerdekaan Indonesia (Poesponegoro, 2009: 130). Asrama-asrama tersebut antara lain adalah Asrama Angkatan Muda di Menteng 31, Asrama Prapatan 10, Asrama Baperpi di Cikini 71, Asrama Indonesia Merdeka di Bungur Besar 56, dan Asrama Perguruan Tinggi Islam di Kramat (Loebis, 1995: 80). Pada Asrama Menteng 31, terdapat tokoh-tokoh pemuda, antara lain Sukarni, Chairul Saleh, Ismail Wijaya, Asmara Hadi, S. K Trimurti, B. M Diah, Sayuti Melik, Nasrun, Sudiro, Sjarif Thajeb, dan A. M. Hanafi. Selain itu, setiap pertemuan atau diskusi tokoh-tokoh seperti Adam Malik, Harsono Tjokroaminoto, dan Anwar Tjokroaminoto juga terlibat aktif didalamnya (Martosewojo, 1984: 6). Para pemuda Asrama Menteng 31 ini mendapat pendidikan langsung dari tokoh-tokoh nasionalis, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifuddin, Mr. Sunardjo, Mr. Subardjo, Dr. Muwardi, Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara (Hanafi, 1997: 10). Dari Asrama Menteng 31 yang kini menjadi Gedung Joang 45 inilah nantinya muncul tokoh-tokoh pemuda yang sangat berperan dalam menentukan percepatan dan perumusan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

            Selain Asrama Menteng 31, terdapat pula Asrama Prapatan 10 yang merupakan asrama Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Asrama ini menjadi tempat tinggal dari mantan mahasiswa Geneeskundige Hoge School (GHS) dan Nederlands Indishe Artsen School (Martosewojo, 1984: 26-27). Dari Asrama Prapatan 10 ini terdapat tokoh-tokoh, seperti Soedjatmoko, Soedarpo, Soebianto dan Soeroto Kunto serta Lus Ratulangie (Poesponegoro, 2009: 131). Pada Asrama Perguruan Tinggi Islam yang lokasinya berdekatan dengan Asrama Prapatan 10, terdapat tokoh-tokoh pemuda seperti Bagdja Nitidiwirja, Nasuhi, Janamar Ardjam, dan Darsjaf Rachman, bahkan Soeroto Kunto dan Soebianto kemudian tinggal di asrama ini setelah dikeluarkan dari Ika Daigaku karena melakukan pemogokan (Loebis, 1995: 80). Asrama terakhir adalah Asrama Indonesia Merdeka di Bungur Besar 56. Asrama ini dipimpin oleh Ahmad Soebardjo (Poesponegoro, 2009: 131).

            Para pemuda di ketiga Asrama ini memiliki orientasi yang berbeda-beda, begitu pula dengan kelompok Sjahrir. Dari keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh pemuda, peran menonjol terlihat dari pemuda yang berasal dari Asrama Menteng 31. Hal ini terlihat dari peran sentral Chairul Saleh dan Sukarni dalam Kongres Pemuda seluruh Jawa yang diadakan pada tanggal 16-18 Mei 1945. Pertemuan yang berlangsung dengang prosesi menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa Kimigayo dan dikibarkannya bendera Merah Putih ini menghasilkan resolusi bahwa seluruh pemuda harus dipersatukan dalam satu pimpinan nasional dan pelaksanaan persiapan kemerdekaan Indonesia ditambah dengan bekerja sama dengan Jepang sebagai upaya mencapai kemerdekaan (Asia Raja, 1945). Kelompok menteng 31 ini pun orientasinya kemudian semakin radikal.

             Chairul Saleh dan Sukarni menolak resolusi tambahan tersebut sehingga pada tanggal 3 Juni 1945 mengadakan pertemuan rahasia. Setelah dibentuk panitia yang diketuai oleh B.M Diah, kelompok Menteng 31 ini kemudian melakukan pertemuan kembali pada tanggal 15 Juni 1945 dengan melahirkan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia (Soediro, 1972: 9-15). Kemudian pada tanggal 2 Juli 1945 diadakan suatu pertemuan yang menggagas berdirinya Gerakan Rakyat Baroe yang anggotanya terdiri dari orang Indonesia, Cina, Jepang, Arab, dan peranakan Eropa berdasarkan hasil sidang Chuo Sangi-in. Dalam gerakan tersebut, terdapat tokoh pemuda radikal yang mayoritas berasal dari kelompok Menteng 31, seperti Wikana, Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Sudiro, Supeno, dan Asmara Hadi (Poesponegoro, 2009: 133). Namun, kelompok Menteng 31 ini menolak hasil anggaran dasar yang tidak mencantumkan nama Republik Indonesia. Oleh karena itu, ketika peresmian Gerakan Rakyat Baroe ini pada tanggal 28 Juli 1945 yang menghadirkan organisasi Jawa Hokokai dan Masyumi, kelompok Menteng 31 ini menolak untuk menduduki kursi yang telah disediakan sebagai wujud protes (Poesponegoro, 2009: 133). Dari sinilah muncul benih-benih perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda terutama kelompok Menteng 31 mengenai cara mencapai kemerdekaan yang kemudian melahirkan peristiwa penting dalam sejarah sekitar proklamasi kemerdekaan, yaitu pengasingan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. 

Para Pemuda dan Hikmah di balik Peristiwa Rengasdengklok

            Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah mulai terasa. Hal ini pun disadari oleh kelompok Menteng 31 yang sikapnya semakin radikal. Surat kabar pun sudah memberitakan tanda-tanda tersebut seperti halnya surat kabar Asia Raya pada tanggal 9 Agustus 1945 (Kamis Pon, 9 Agoestoes 2605) dengan judul Moesoeh Menggoenakan Bom Baroe. Menanggapi berita ini, golongan muda terutama kelompok Menteng 31 semakin ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan secepatnya mendesak tokoh-tokoh dari golongan tua seperti Soekarno dan Hatta untuk dapat memproklamasikan kemerdekaan. Namun, sekembalinya Soekarno dan Hatta dari Vietnam pada tanggal 14 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta tetap pada pendiriannya, yaitu membicarakan mengenai kemerdekaan Indonesia saat sidang Dokuritsu Jumbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI) dengan pertimbangan bahwa Jepang sudah kalah sehingga dengan atau tanpa Jepang, kemerdekaan akan tetap terjadi.

Peristiwa Rengasdengklok yang berupaya menghindarkan Soekarno dan Hatta dari pengaruh Jepang, penyusunan teks Proklamasi, persiapan pelaksanaan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan penyebaran berita tentang Proklamasi.

Hal inilah yang tidak disukai oleh kelompok Menteng 31 sehingga  membuat perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda semakin meruncing. Ditambah lagi, Sukarni dan kelompoknya yang dinamakan Adam Malik sebagai “Gerombolan Sukarni” telah mengetahui berita menyerahnya Jepang melalui radio militer dan radio Domei. Untuk itu, pada saat Soekano dan Hatta mendarat di Kemayoran, kelompok Menteng 31 yang terdiri dari Asmara Hadi, Sayuti Melik, dan Chairul Saleh langsung memberitakan mengenai menyerahnya Jepang ini. Bung Karno yang baru turun dari pesawat mengatakan “Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap” (Malik, 1975: 29). Chairul Saleh mendesak dengan mengatakan “Tapi kami tidak mau kemerdekaan hadiah. Kami tidak mau janji-janji Jepang itu. Kemudian mereka serentak mendesak Soekarno “Proklamirkan kemerdekaan bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jendral Terauchi tentu tidak bilang itu pada Bung Karno” (Hanafi, 1997: 16). Dari pertemuan di lapangan terbang Kemayoran inilah lahir benih-benih untuk melakukan pengasingan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sisi lain, Sutan Sjahrir yang termasuk tokoh pertama yang mengetahui tentang kapitulasi Jepang kemudian mendesak Hatta dalam suatu pertemuan tanggal 15 Agustus 1945 (Poesponegoro, 2009: 137).

Ketegasan sikap Soekarno dan Hatta patut dimaklumi karena Soekarno dan Hatta yang mewakili golongan tua tidak menginginkan adanya pertumpahan darah tetapi berbeda dengan golongan pemuda yang menganggap pertumpahan darah sebagai risiko yang tidak bisa dihindari jika Jepang menganggap Proklamasi Kemerdekaan dalam posisi status quo dianggap sebagai pelanggaran (Yunarti, 2003: 38). Di lain pihak, Pada tanggal 15 Agustus 1945, kelompok Menteng 31 ini mengadakan rapat di Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan Timur, Jakarta. Turut hadir pada saat itu adalah Djohan Nur, Kusnandar, Subadio, Subiantoro, Margono, Wikana, dan Armansyah. Mereka menghendaki Proklamasi segera dilaksanakan. Kemerdekaan harus lepas dari pengaruh dan bayang-bayang Jepang. PPKI mereka anggap masih ada di bawah pengaruh Jepang. Mereka tidak mempercayai janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Merdeka atau mati, menjadi semboyan (Yunarti, 2003: 25).

Kemudian Wikana dan Darwis menyampaikan hasil rapat pada Bung Karno di rumahnya di jalan Pegangsaan Timur 56 sekaligus mengancam Bung Karno apabila tidak diumumkan Proklamasi besok pagi, maka akan terjadi pertumpahan darah. Ancaman ini dijawab Bung Karno dengan kemarahannya dengan mengatakan “Inilah leher saya, seret saya ke pojok dan sudahi nyawa saya, tak usah tunggu besok. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu akan saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok” (Kompas, 1995).

Pada Rabu malam itu juga, hasil pertemuan kaum pemuda dengan Bung Karno dilaporkan pada pertemuan Asrama Cikini 71. Rapat memutuskan,seperti diusulkan Djohan Nur, “Segera bertindak, Bung Karno dan Bung Hatta harus kita angkat dari rumah masing-masing.” Chairul Saleh yang memimpin rapat, menegaskannya sebagai keputusan rapat dengan berkata, “Bung Karno dan Bung Hatta kita angkat saja. Selamatkan mereka dari tangan Jepang dan laksanakan Proklamasi tanggal 16 agustus 1945”. Dari Asrama Cikini 71 inilah kemudian tercetus ide untuk mengasingkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok yang digagas oleh kelompok Menteng 31. Rencana ini dipercayakan kepada Shudancho Singgih dengan dukungan perlengkapan tentara dari Chudancho Latief Hendraningrat yang saat itu sedang menggantikan Daidancho Kasman Singodimedjo (Poesponegoro, 2009: 139).

Soekarno dan Hatta kemudian dibawa ke Rengasdengklok karena di sana ada Surjoputro, yang sudah pasti akan membantu perjuangan kemerdekaan. Di Rengasdengklok, Soekarno Hatta dibawa ke kantor PETA dan membahas penetapan waktu proklamasi. Sukarni mendesak Soekarno dan Hatta untuk menyatakan Proklamasi Kemerdekaan secepat-cepatnya karena situasi yang mendesak saat itu dan diuntungkannya Indonesia karena Jepang yang saat itu menguasai Indonesia, mengalami kekalahan oleh Sekutu akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan kata lain, Sukarni berkesimpulan bahwa terdapat Vacuum of Power (kekosongan kekuasaan) sehingga harus dimanfaatkan untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta masih ragu terhadap kepastian bahwa Jepang sudah kalah, namun Sukarni menegaskan kembali sambil menunjuk pasukan PETA yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan untuk tekad melindungi kemerdekaan rakyat. Namun, Soekarno dan Hatta yang sudah sehari penuh berada di Rengasdengklok tetap tidak mau atas desakan Sukarni untuk melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan yang terlepas dari kaitan Jepang. Sukarni pun segan untuk terus menekan Soekarno dan Hatta dikarenakan kewibawaan mereka. Proklamasi yang seyogyanya dilakukan pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 1945, tidak dapat dilaksanakan karena belum mendapat kabar dari Jakarta dan Jepang sehingga Sukarni memutuskan untuk menyuruh J. Kunto melapor dan merundingkannya dengan kelompok-kelompok yang ada di Jakarta.

Setibanya di Jakarta, J. Kunto hanya bertemu dengan kelompok Wikana dan Subardjo. Mereka lalu melakukan suatu perundingan mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Subardjo dari golongan tua dan Wikana mewakili kelompok Menteng 31 sekaligus mewakili golongan muda mencapai sebuah kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan dilaksanakan di Jakarta. Laksamana Tadashi Maeda memberikan kabar bahwa apabila Soekarno dan Hatta dikembalikan dengan selamat, maka Maeda dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli terhadap pernyataan kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadikan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi (Ricklefs, 2010: 444). Setelah tercapai kesepakatan itu, pada pukul 16.00 J. Kunto segera ke Rengasdengklok bersama Subardjo dan Sudiro untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Sekitar pukul 18.00, J. Kunto, Subardjo, dan Sudiro tiba di Rengasdengklok. Kemudian Subardjo, Sukarni, Soebeno, dan Sutardjo Kartohadikoesoemo langsung melakukan rapat. Dalam rapat itu, Subardjo berkata kepada Sukarni, “Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta. Sebab itu saya datang kemari untuk menjemput saudara-saudara kembali ke Jakarta” (Hatta, 1970: 49). Proklamasi sendiri dapat dilaksanakan selambat-lambatnyanya pukul 12.00 tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum Subardjo datang menjemput, Soekarno menyatakan kesediaannya mengadakan Proklamasi segera sesudah sampai di Jakarta dalam sebuah pembicaraan berdua antara Soekarno dengan Singgih.

Peranan Pemuda dalam Perumusan Teks Proklamasi hingga Proklamasi Kemerdekaan

            Sekembalinya Soekarno dan Hatta dari Rengasdengklok pada pukul 23.00, kelompok Menteng 31 ini kemudian bergegas melakukan persiapan menuju rumah Maeda. Soekarno dan Hatta kemudian sampai di rumah Maeda setelah  sebelumnya menemui Nishimura untuk menanyakan perihal status Indonesia mendapat jawaban yang kurang baik sehingga diputuskan bahwa kemerdekaan memang harus segera dilaksanakan tanpa menunggu bantuan Jepang. Rumah dinas Maeda ini sekarang menjadi Museum Perumusan Teks Proklamasi di Jalan Imam Bonjol nomor 1. Rumah Maeda dianggap aman karena kedudukan Maeda sebagai penghubung antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Soekarno dan Hatta setelah berbicara dengan Maeda kemudian pindah ke ruang tamu kecil bersama Subardjo, Sukarni dan Sayuti Melik. Maeda pun kemudian pamit menuju ke lantai dua rumahnya. Setelah itu, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo merumuskan naskah Proklamasi dengan ditulis langsung oleh Soekarno.

              Setelah naskah selesai ditulis, Soekarno kemudian membacakan naskah tersebut di hadapan tokoh-tokoh yang hadir dalam peristiwa perumusan teks tersebut. Lalu Soekarno meminta semua yang hadir untuk menandatangani naskah tersebut. Namun beberapa pemuda tidak setuju dan akhirnya Soekarni maju ke muka dengan suara yang lantang “Bukan kita semua yang hadir disini untuk menandatangani naskah itu, cukuplah dua orang saja yang menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta”. Naskah kemudian diketik oleh Sayuti Melik dengan beberapa perubahan.

Setelah berhasil merumuskan teks proklamasi, seluruh anggota PPKI dan para pemuda pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang, mereka sepakat bahwa pembacaan teks proklamasi akan dilaksanakan di rumah Soekarno yang saat ini menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan Jalan Proklamasi nomor 1. Hatta pun berpesan pada B.M Diah untuk menyebarkan teks proklamasi. Segera setelah itu, kelompok Menteng 31 yang dikomandoi oleh Sukarni melakukan rapat di Kemayoran untuk mengatur penyiaran berita Proklamasi. Mereka pun mengerahkan semua alat komunikasi, baik kurir, pamphlet, alat pengeras suara, bahkan mobil-mobil ke penjuru kota demi tersebarnya berita proklamasi. Pasca proklamasi, kantor berita Domei yang awalnya dijadikan sebagai pemancar berita disegel oleh Jepang. Namun, kelompok Menteng 31 ini tidak kehilangan akal. Dengan bantuan teknisi radio, Sukarman, Sutamto, Susilahrdja dan Suhandar kemudian membuat pemancar yang alat-alatnya diambil bagian demi bagian dari Kantor Berita Domei. Dengan demikian, terciptalah radio pemancar baru di Menteng 31 dengan kode panggilan DJK 1 berkat peran dari kelompok Menteng 31 ini.

            Pada akhirnya, generasi muda merupakan generasi emas suatu bangsa. Hal ini merupakan ungkapan logis jika merunut pada sejarah panjang bangsa Indonesia hingga tercapainya Proklamasi Kemerdekaan. Para pemuda yang berasal dari Menteng 31 ini membuktikan bahwa mereka adalah Agent of Change. Chairul Saleh dan Wikana dengan kegigihannya mampu mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berawal berbagai Asrama, mereka berkembang sebagai generasi terdidik dan tercerahkan yang menentukan nasib dan kedudukan bangsanya. B.M Diah, Adam Malik, Sukarni, J. Kunto, A. M. Hanfi, hingga Sayuti Melik mampu mengambil tanggung jawab dan menjalankan peran yang diamanahkan kepada mereka, bukan sekedar menerima pelajaran dari tokoh nasionalis melainkan mampu mengimplementasikan demi kemajuan bangsa.

            Peristiwa Rengasdengklok menyimpan hikmah tersendiri bahwa sesulit apapun kondisi, setajam apapun perbedaan pendapat, dan setinggi apapun ego diri pribadi yang dimiliki, terdapat suatu kompromi, kerendahan hati, dan kesatuan nasional demi membebaskan bangsa dari campur tangan Jepang dan belenggu Fasisme. Sebuah konsekuensi logis dari pernyataan persamaan pendapat antara Wikana dengan Soebardjo yang melahirkan kesepakatan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.

            Saat perumusan teks Proklamasi kemerdekaan hingga pasca dibacakannya proklamasi, para pemuda ini pun memiliki peran yang signifikan. Sayuti Melik merupakan pengetik naskah proklamasi, B.M Diah merupakan penyebar berita mengenai proklamasi, dan Sukarni merupakan pemegang komando dalam penyebaran informasi mengenai kemerdekaan Indonesia. Asrama yang menjadi pusat konsentrasi kegiatan pemuda sekali lago memegang peranan penting, yakni Asrama Menteng 31 yang kemudian dijadikan sebagai pemancar berita Proklamasi setelah Kantor Berita Domei disegel oleh Jepang. Kini, Asrama Menteng 31 menjadi Museum Gedong Joang 45. Keterbatasan akses dan mobilitas pada masa penjajahan Jepang tidak menjadi halangan bagi mereka untuk memerdekakan bangsanya. Pun demikian dengan kita, keterbatasan mobilitas akibat Pandemi Covid-19 seharusnya bukan menjad halangan untuk mengisi kemerdekaan. Dengan demikian, sudah selayaknya generasi muda menjadikan golongan muda angkatan 45 sebagai contoh dalam perjuangan mengisi kemerdekaan karena sesungguhnya kemerdekaan yang kita rasakan saat ini merupakan buah kerja keras mereka. 

Selengkapnya